Muda-mudi Minangkabau saat ini banyak yang menggunakan kata “gue” untuk membahasakan didirnya dan “lo” untuk lawan tuturnya padahal berbicara dengan bahasa Minang. Sebelum pengaruh “gue-lo” masuk, yang digunakan adalah “awak”, “denai” atau nama si pembicara, dan “kau” bagi lawan tutur perempuan, serta “ang/waang” bagi lawan tutur laki-laki, atau nama si lawan tutur.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam hal ini, jika diterapkan pada teman sebaya. Berbeda jika diterapkan pada orang yang lebih tua. Akan tetapi, banyak muda-mudi Minang yang ketika berbicara pada kakaknya justru seperti berbicara pada teman sebaya, menggunakan “gue-lo” atau “aden-kau/ang”.
Hal ini sebenarnya tidak terjadi di Minangkabau saja, di berbagai daerah juga sudah sangat lumrah, sebagai simbol keakraban, katanya. Namun, pada kenyataannya ini bertentangan dengan salah satu nilai pada kato nan ampek, yaitu kato mandaki.
Saat ini nilai-nilai kato nan ampek sudah terlupakan meskipun eksistensi kato nan ampek sendiri masih ada. Selain pengaruh media sosial, ada juga penyebab lain yang membuat nilai-nilai kato nan ampek terikis, yaitu dihapuskannya pelajaran BAM di sekolah. BAM atau Budaya Alam Minangkabau dulunya adalah mata pelajaran wajib di sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.
Namun, seiring berjalannya waktu, BAM tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib, padahal pelajaran BAM sangat mengenalkan budaya-budaya yang ada di Minangkabau, seperti asal-usul nama Minangkabau, pakaian adat, juga nilai-nilai dan penerapan kato nan ampek.
Contoh lain yang membuktikan bahwa nilai-nilai kato nan ampek terkikis adalah carut-marut yang dianggap biasa, bahkan dianggap keren.
Penormalisasian penggunaan carut-marut ini sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan nilai kesopanan yang dijunjung tinggi di Minangkabau. Generasi muda saat ini seringkali mengeskpresikan segala sesuatu dengan carut-marut, tak peduli ia sedang berbicara dengan siapa.
Carut-marut pada teman sebaya dianggap biasa dan simbol keakraban, tetapi tetap saja melanggar nilai kesopanan. Carut-marut pada yang lebih muda tentu tidak baik, mengajarkan sesuatu yang salah dan tidak sopan. Carut-marut pada orang yang lebih tua bisa dikatakan sebagai hal fatal, sangat tidak sopan, dan tidak menunjukkan rasa hormat.
Sangat disayangkan carut-marut berbahasa Minang dikenal banyak orang melalui media sosial, hal ini benar-benar tidak mencerminkan budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai kesopanan. Harapan besar bagi generasi muda saat ini, khususnya muda-mudi Minangkabau agar mengembalikan etika sopan santun dalam berbicara. Mengembalikan nilai-nilai kato nan ampek pada tempatnya.
Bisa menyesuaikan ketika berbicara, dengan orang yang lebih tua gunakan kato mandaki, dengan yang lebih muda gunakan kato manurun, dengan teman sebaya gunakan kato mandata, dan dengan orang yang disegani gunakan kato malereang. Tidak menyamaratakan semua usia dengan alasan sudah dekat atau agar tercipta keakraban. Berhenti normalisasi penggunaan carut-marut atau kata-kata kotor baik di kehidupan nyata atau media sosial. (***)




















