Mengamati sejumlah laga kandang SPFC dan menghimpun data di lapangan, ada pemandangan berbeda jika menyaksikan pintu masuk pada empat arah mata angin tersebut. Selama ini, penjagaan pintu masuk di Tribun Timur dan Barat, petugasnya menggunakan kostum merek Semen Padang. Di Tribun Selatan dan Utara, tidak mengguÂnakan kostum yang sama dengan Tribun Timur dan Barat, melainkan menggunakan kostum yang sewarna dengan kostum fans yang menempati tribun tersebut.
Sebagai pembanding, jika masuk di Tribun Timur atau Tribun Barat, korek api saja tak bisa masuk. Botol minuman kemasan terkadang diganti plastik atau dibuka tutupnya, tapi mengapa flare yang ukurannya lebih besar dari korek api dan punya potensi lebih berbahaya, bisa masuk? Tak ada salahnya jika kejadian ini diusut sebagai langkah untuk memberikan efek jera.
Pertanyaannya, apakah memang hanya sekadar perbedaan pada kostum saja? Agar panitia lebih dekat kepada fans, atau memang hal tersebut diberikan kepercaÂyaan kepada fans untuk meÂngelolanya? Jika jawabannya adalah yang pertama, maka tuan rumah perlu memberikan pemahaman atau pembelajaran kepada petugasnya. Jika jawabannya adalah yang keÂdua, dikelola oleh fans, maka sebaiknya hal tersebut perlu ditinjau ulang.
Apa yang terjadi adalah bagian dari sikap buruk yang sangat disesalkan. Kurang apalagi manajemen SPFC kepada fansnya? Bukankah keinginan untuk mengantarkan SPFC kembali ke Liga 1 sudah dipenuhi sebelum laga itu berlangsung, dan sebelum SPFC kalah di kandang PSBS Biak? Bukankah fans bermerek (yang menempati Tribun Selatan dan Utara) juga sudah diberikan fasilitas lebih diÂbandingkan fans yang menonton di Timur dan Barat? DianÂtara fasilitas tersebut, harga tiket tidak berubah dalam duÂrasi waktu yang panjang. Harganya jauh lebih murah, lalu bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Harga tiket di Tribun Timur dan BaÂrat, sering naik dan bisa beÂrubah setiap muÂsim.
Perihal sanksi yang diterima SPFC. Nilai Rp 100 juta, terbilang relatif. Persoalan mendasar adalah larangan berÂtanding tanpa penonton selama tiga kali. Sanksi ini sangatlah berat. Tim yang baru masuk ke Liga I, memenuhi keinginan pecintanya, justru bertanding tanpa disaksikan pecintanya karena ulah seÂgelintir orang yang mengaku mencintai klub ini. Kondisi ini sangatlah berat, malah bisa dibilang tak masuk akal.
Barangkali apa yang dilakukan Persiraja dan PSIS Semarang bisa dijadikan panduan. Misalnya, dikurangi sanksi hukuman, terutama laga tanpa penonton, atau kawasan tribun tertentu saja yang ditiadakan. Ditiadakan dari titik terjaÂdinya pembakaran/menembakkan flare tersebut.
Semen Padang FC seÂtidakÂnya juga bisa mengajukan agar sanksi ditinjau ulang. Minimal tidak ada penonton di lokasi atau Tribun Utara dan Selatan, tempat flare dihidupkan. Bukan untuk keseluruhan tribun. Malahan sebagai apresiasi, tak sedikit penonton di Tribun Timur dan Barat yang kesal dan mengejek mereka yang menembakkan flare terÂsebut. Malahan ada juga peÂnonton di Tribun Utara dan Selatan yang kesal karena priÂlaku mereka yang tak bertanggungjawab tersebut.
Tahun 2010, Komisi Disiplin PSSI pernah menghukum BoÂnek, suporter Persebaya, saat laga tandang sampai tahun 2014 dan membayar denda Rp 50 juta untuk ganti rugi yang ditimbulkan Bonek di Bandung. Kendati kemudian banding, lalu Komisi Banding PSSI meÂngubah keputusan menjadi;Â Bonek dilarang mengenakan seluruh atribut dan berbagai logo bonek selama dua tahun di seluruh kompetisi PSSI di seluruh Tanah Air.
Artinya, sanksi hendaknya juga menyasar secara spesifik kepada mereka yang berÂprilaku di luar batas wajar. JaÂngan hanya panitia atau tuan rumah yang diberi sanksi, tapi mereka yang berbuat di luar batas juga harus diberikan sanksi khusus. Agar ada efek jera. Jangan hanya gara-gara mereka, belasan ribu pecinta sepakbola sesungguhnya, tiÂdak dapat menyaksikan perÂtandingan secara utuh.*
*Penulis adalah Wartawan Posmetro Padang




















