Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik tetapi juga kekerasan psikis dan sosial. Dewasa ini banyak yang salah persepsi terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagian orang menganggap tindakannya sebagai cara untuk mendidik. Namun hal tersebut tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak, kekerasan tersebut sering disamakan dengan cara mendidik. “Persepsi seperti ini perlu diluruskan,” tegasnya.
Kekerasan terjadi disebabkan banyak faktor, di antaranya budaya masyarakat, perekonomian dan faktor lainnya yang tidak sesuai dengan norma sosial dan hak asasi manusia (HAM). Sehingga terjadi tindakan eksploitasi dan diskriminasi. “Kekerasan terhadap perempuan seringkali terjadi di lingkungan domestik daripada di lingkungan publik atau komunitas. Kekerasan di lingkungan domestik lebih sulit dideteksi karena bersifat tertutup,” tegasnya.
Lain halnya kekerasan di lingkungan publik yang nyata terlihat dan diketahui khalayak ramai. Perlu ada upaya sistematis dan kolaboratif berupa deteksi dini potensi terjadinya kekerasan. Salah satunya dengan memberdayakan lembaga layanan seperti P2TP2A, Puspaga, Satgas PPA dan beberapa lembaga lainnya. “Juga bagaimana komitmen kita bersama menciptakan suatu lingkungan yang kondusif dan aman. Sehingga kekerasan terhadap perempuan di wilayah kita bisa diminimalisir dan dicegah,” tambahnya.
Selain dari keluarga, peran lingkungan juga sangat dibutuhkan. Karena tidak semua korban kekerasan terhadap perempuan termasuk TPPO melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya ke ranah hukum, perlu pendampingan kepada korban kekerasan, baik pendampingan secara psikis, fisik serta bantuan hukum.
“Kita harus tegas, penegakan hukum harus jelas, sistematis dan terkoordinir oleh masing-masing instansi dan OPD. Upaya sosialisasi, edukasi, dan rehabilitasi harus ditingkatkan. Perlu penanganan akar masalah kekerasan terhadap perempuan termasuk TPPO yaitu kemiskinan. Yang selama ini juga sudah kita lakukan melalui program pelindungan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa dan Program Penerima Bantuan Iuran (PBI),” harapnya.
Sinergitas kebijakan, program dan kegiatan di semua lini diperlukan untuk menghapuskan faktor penyebab kekerasan yang sangat kompleks, Demikian juga di saat terjadi korban kekerasan termasuk TPPO, penanganannya tidak dapat diserahkan hanya pada satu pihak saja. “Diperlukan kolaborasi, koordinasi, dan aksi bersama sebagai sebuah tim untuk dapat melindungi/memberikan hak-hak korban dan saksi, serta penegakan hukum bagi para pelaku,” harapnya.
Pemprov Sumbar terus berupaya melakukan langkah-langkah komprehensif melalui keterlibatan seluruh stakeholder. Pemprov Sumbar memiliki komitmen yang kuat melindungi perempuan dan anak. Komitmen ini diwujudkan dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan/regulasi “Kita melihat kenyataan di lapangan masih banyak di temukan perempuan dan anak korban kekerasan merasa ragu atau takut melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya atau ada kendala seperti sulitnya akses dalam mencapai layanan dan kurangnya informasi tentang hak-hak yang dimiliki,” ungkapnya.
Ke depan Pemprov Sumbar tetap berupaya perempuan dan anak korban kekerasan mendapatkan akses yang mudah. Terutama dalam menjangkau pusat layanan pengaduan. “Sehingga korban dapat tertangani dengan cepat, kita menyadari lembaga yang menangani perlindungan perempuan dan anak masih kurang. Terutama di daerah yang jauh dari pusat kota,” ucapnya.
Di sini pentingnya Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai pusat layanan khusus dan rujukan, yang bermitra dengan lembaga layanan lainnya. Baik yang tersedia pada Instansi pemerintah maupun pada masyarakat. Workshop juga dihadiri Kepala OPD terkait dan Instansi Vertikal Provinsi Sumbar, Pimpinan Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Sumbar, Kepala Bidang dan Kepala UPTD PPA lingkup DP3AP2KB Sumbar.(fan)
