Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, membenarkan bahwa Presiden Joko Widodo bertemu dengan AHY. Jokowi dan AHY membicarakan beberapa topik. Menurut dia, Jokowi dan AHY mengobrol dengan rileks. Komunikasi ini perlu didukung, terutama untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.
Sementara Kepala Badan Komunikasi Strategis Demokrat, Herzaky Mahendra menyebut perbincangan antara keduanya berlangsung hangat. Mereka membahas situasi politik nasional dan berkomitmen pemilu damai, aman dan demokratis.
Pertemuan keduanya itu tentu akan membentuk satu pandangan, kalau tidak ada yang berseberangan di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Maklum, awalnya AHY ada di kubu Anies Baswedan bersama Partai NasDem dan PKS. Namun, tiba-tiba AHY batal jadi Cawapres, dan Anies memilih Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Jadilah, PKB ke Anies, dan Demokrat ke Prabowo.
Tentu, hal ini yang membuat masih banyak yang meragukan persatuan dua kubu ini. Karena bagi Demokrat, Prabowo bisa menjadi sarana ‘balas dendam’ kepada kubu Anies. Selain itu juga bisa menjadi langkah mereka untuk kembali ke pemerintahan. Sejak SBY lengser 2014, Demokrat tak pernah lagi mencicipi kekuasaan. Bahkan beragam masalah mereka dapati, sampai membuat partai ini terlempar dari tiga besar Pemilu 2014 dan 2019. Dengan Prabowo, 2024 menjadi harapan lain Demokrat.
Kita tak perlu lagi mempertanyakan sikap Jokowi. Karena dengan berbagai kejadian sepekan terakhir, Jokowi sudah mulai lebih terbuka dukungannya terhadap 02, yang Cawapresnya anak sulungnya. Tak perlu lagi mencari pembenaran, Presiden Jokowi harus netral dan sebagainya. Karena sudah terang, dia menyebut, Presiden boleh berkampanye sesuai Undang Undang.
Demokrat juga bukan main-main dalam koalisi ini. Pertemuan dengan Jokowi menyiratkan, bagaimana AHY begitu serius mendukung kemenangan pasangan nomor urut 2. Karena, mereka juga butuh sarana untuk kembali kepada kekuasaan. Minimal, tetap memberikan ‘nafas’ kepada AHY untuk tetap berkarir di politik, dengan menjadi salah satu Menteri Prabowo-Gibran 2024-2029.
Soal Pemilu dan Pilpres lima tahun lagi, itu bisa berubah. Karena semua sepakat, politik Indonesia ini begitu bebas aktif. Tergantung situasi dan kondisi saja. Tidak ada batasan soal idelogi, tapi semua karena kepentingan. Seperti kompaknya Ganjar dan Anies, meski didukung aliran kiri dan kanan. Harusnya tak bisa bersatu, tapi mereka sekarang padu dan kompak. Menolak satu putaran.
Yang pasti, Jokowi-AHY sudah mempertimbangkan masak-masak, bagaimana pasangan yang mereka dukung itu menjadi pemenang. Tak perlu lama-lama, harus satu putaran. Karena keduanya sudah mulai bosan dengan hiruk-pikuk politik kekinian. Lebih hangat dan kejam dari Pemilu/Pilpres 2019 yang hanya dua poros. Keduanya harus diyakini bertemu untuk bangsa dan negara, tapi juga tetap harus berada di dalam ring kekuasaan.
Seperti kata sastrawan dan budayawan Ahmad Tohari, “Kekuasaan adalah hulubalang sejarah yang sepanjang waktu dipertahankan dan diperebutkan.” Kita sebagai rakyat bisa melihat, siapa yang sedang mempertahankan, dan siapa yang berusaha merebut. Bangsa ini akan baik-baik saja, jika kekuasaan itu tak membuat perang, tapi hanya permainan biasa saja. (Wartawan Utama)
















