“Pajak hiburan ini bukan hanya diskotek, tapi juga yang membuat makanannya dan lainnya,” ungkap mantan kepala staf kepresidenan itu.
Luhut menegaskan, belum ada alasan kuat untuk menaikkan pajak hiburan sehingga pemerintah akan mempertimbangkan aturan itu. “Nggak usah naik pajaknya, nggak ada alasannya,” tandasnya.
Sebagaimana diwartakan, pemerintah melalui UU No 1/2022 mengenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) terkait kesenian dan hiburan. Pada Pasal 55 dijelaskan, ada 12 jenis yang termasuk jasa kesenian dan hiburan. Namun, dari 12 jenis kegiatan itu, yang dikenai PBJT atas jasa hiburan dengan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen adalah kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Sejumlah daerah telah menetapkan besaran pajak hiburan untuk melaksanakan ketentuan aturan tersebut. Misalnya, DKI Jakarta menetapkan pajak hiburan atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40 persen. Regulasi sebelumnya, pajak untuk jenis hiburan di atas ditetapkan 25 persen.
Sementara itu, Pemkot Surabaya menetapkan tarif paling tinggi 50 persen untuk hiburan dewasa. Misalnya, diskotek, karaoke dewasa, kelab mal am, bar, panti pijat, dan mandi uap atau spa. Sedangkan karaoke keluarga ditetapkan 40 persen.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengimbau pemda menunggu hasil judicial review di MK terkait pajak hiburan. “Tunggu dulu sebelum menetapkan pajak hiburan 40–75 persen,” terangnya.
Sembari menunggu, pemda bisa mendiskusikan besaran pajak hiburan dengan industri terdampak. Sekaligus mendorong pengusaha hiburan untuk memanfaatkan insentif fiskal dan nonfiskal. “Ini solusi yang pemerintah harapkan,” ujarnya. (jpg)
