Lalu, sikap Prabowo inilah yang disebut Anies tidak tahan menjadi oposisi. Bersemangat, Anies menyebutkan hal itu, dan mengaitkannya dengan bisnis dan aset. Padahal, Prabowo adalah calon Presiden paling kaya dengan harta mencapai Rp2,03 triliun. Jauh melampaui Anies Rp11,19 miliar dan Ganjar Pranowo Rp13,45 miliar. Agak aneh rasanya menyebut Prabowo takut oposisi karena masalah keuangan.
Sementara Anies, meski menggunakan tagline perubahan yang biasanya dipakai calon yang berada di luar pemerintahan atau oposisi, tapi tak sepenuhnya benar. Dua dari tiga partai politik yang mengusung Anies-Muhaimin adalah partai pemerintah pendukung Jokowi-Ma’ruf Amien. Yaitu Partai NasDem yang sejak awal bersama Jokowi dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mengaku dekat dengan Jokowi.
Hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saja yang benar-benar berada dalam barisan opisisi dan itu sudah mereka lakukan cukup lama, sejak 2014. Sebelumnya, PKS berada dalam kekuasaan bersama SBY-JK dan SBY-Boediono. Dua kali PKS mendukung Prabowo, dan sekarang mencoba peruntungan bersama Anies. Yang mereka usung dan menangkan pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, Anies juga bukan orang yang akrab dengan oposisi sejak kemunculannya. Dia juga bukan aktivis mahasiswa yang garang di lapangan dan terkenal keras melawan Pemerintahan Order Baru dan sejenisnya. Anies muncul saat menjadi juru bicara Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Hal itu dilakoninya setelah kalah dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat.
Sebagai juru bicara tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014, Anies begitu lihai memainkan diksi atau pilihan kata-katanya. Dari sanalah namanya kian melejit. Apalagi saat menang, Jokowi memberikan jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Anies pada 27 Oktober 2014. Saat itu, Anies adalah orang dekat Jokowi dan turut menikmati kekuasaan.
Sayang, jabatan itu tak lama diemban Anies. Pada 27 Juli 2016, Presiden Jokowi mencopot Anies Baswedan dari jabatannya, meski dianggap sarat dengan kepentingan politik. Anies kemudian digantikan Muhadjir Effendy yang kini masih menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Setelah dicopot dari Menteri, Anies pun ditarik oleh ‘oposisi’ dan maju mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketum Gerindra Prabowo menjadi bagian yang mengusung Anies dan meminta semua ketua DPD Gerindra di tingkat provinsi se-Indonesia untuk bekerja memenangkan Anies. Karena, hampir semua ketua partai di daerah pasti punya relasi di ibu kota negara.
Anies tak lama menganggur, pada 16 Oktober 2017 dilantik menjadi Gubernur DKI didampingi Wakil Gubernur Sandiaga Salahudin Uno. Pilpres 2019, Anies juga sempat ‘diseret’ maju ke gelanggang. Dia menyebutkan dimana-mana, selama Prabowo maju jadi calon Presiden, dia tidak akan maju dan memilih menyelesaikan jabatan Gubernur sampai 16 Oktober 2022.
Sekarang, Anies maju dan menantang Prabowo. Meski dalam berbagai survei namanya di posisi buncit dengan kisaran angka 16-22 persen saja, dia tetap yakin bisa memenangkan Pilpres. Saat 2017 di DKI, namanya juga disebut di bawah, tapi tetap menang. Anies dan tiga partai pengusungnya menjual ‘perubahan’ meski pendukungnya tak penuh berada di luar pemerintahan. Dalam debat pertama, Anies sepertinya sudah benar-benar ‘melepas’ masa lalunya dengan Prabowo.
Mungkin, oposisi versi Indonesia memang seperti ini. Meski saat SBY berkuasa 2004-2014, ada PDIP dan Megawati yang setia oposisi. Seperti yang disampaikan Psikiater Austria Sigmund Freud, “Oposisi tidak selalu merupakan permusuhan; itu hanya disalahgunakan dan dijadikan ajang permusuhan.” Baiknya memang begitu. Yang penting, Pilpres selesai, semua kembali berteman. Sifat oposisi sebagai penjaga dan pengoreksi pemerintahan memang diperlukan, tapi harus tetap dalam koridor damai dan guyub. (Wartawan Utama)
















