Dia juga mengatakan, sebenarnya secara pribadi juga tidak nyaman berkantor di Mesjid Agung Nurul Iman itu, karena tidak representatif, dan jika dia menerima tamu, rapat tidak bisa berjalan, begitu juga sebaliknya. Karena hanya berbatasan dengan lemari setinggi leher.
Selama berkantor disana, dia juga mengatakan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan. Dia mencontohkan rantai yang di pasang di depan kantor MUI yang sedianya digunakan sebagai tempat parkir dekat mesjid Nurul Iman itu.
“Kantor yang rutin buka dan memiliki pegawai tetap disana adalah MUI Sumbar, apakah wajar jika tamu MUI Sumbar yang datang dari berbagai daerah masuk melangkahi rantai-rantai yang dipasang di sana, sebenarnya apa tujuannya?, Kira-kira malu tidak masyarakat Sumbar ketika ulama dari luar daerah datang ke kantor MUI Sumbar dengan melangkahi rantai-rantai itu,” tanya Buya Gusrizal.
Dia juga mengaku sudah pernah meminta kepada pengurus mesjid untuk mengaktifkan toilet di lantai dua, namun tidak kunjung di penuhi, dia juga menimpal, jika beralasan tidak mempunyai dana, maka MUI Sumbar siap dengan dana pribadi.
“Sebagaimana kita tahu secara umur anggota MUI itu sudah sepuh-sepuh, pensiunan, kadang rapat mulai dari pagi hingga sore, ketika ingin buang air kecil, dua kali hingga tiga kali, apakah sanggup yang tua-tua itu naik tangga berulang kali,” sebutnya lagi. (brm)




















