Dengan tegas Gibran menyebut, tak mempersoalkan kalau mau mengungkit hal tersebut. Namun, ia mengatakan pada akhirnya yang menentukan adalah masyarakat. Kalau masyarakat tak memilih, mau anak siapapun tidak akan bisa memenangkan kontestasi apapun.
“Ya silahkan diungkit, dikasih tiket, dikasih karpet merah, keistimewaan kalau warga tidak memilih itu saya akan kalah gitu lho. Keputusan ada di warga masyarakat bukan masalah tiket, bukan masalah ini itu. Saya kan sudah sering ngasih contoh anaknya ini itu maju gagal, yang penting kan dari warga, warga nggak memilih kan ya percuma,” katanya.
Kini terlepas dari politik dinasti atau tidak, yang jelas Gibran akan memulai perjuangannya menjadi RI 2 dalam waktu dekat. PDIP yang menjadi partai tempatnya bernaung kini tentu harus berhitung ulang tentang kekuatan Jokowi yang tidak lagi bisa mereka andalkan mendapatkan suara. Kini, Jokowi yang telah menyebut, sebagai orang tua akan merestui saja apa yang terbaik untuk anaknya, pasti tidak akan lagi berjuang untuk PDIP. Tak mungkin juga rasanya, Presiden Jokowi akan pro ke Ganjar-Mahfud, sementara anaknya berjuang bersama Prabowo.
Retaknya hubungan Jokowi dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri juga menjai trending topik sepekan terakhir selain pendaftaran Bacapres-Bacawapres. Tidak ada yang akan menyangka, petugas partai yang selama ini manut dengan ketumnya kini mulai mencoba melepaskan diri. Membangun martabatnya sendiri, ketimbang tetap berada pada bayang-bayang partai politik. Yang membuatnya terus menjadi petugas partai, meski sudah hampir 10 tahun menjadi Presiden.
Di berbagai media sosial, termasuk di Sumbar, masuk gelanggangnya Gibran ini menjadi bahan dalam konten. Bagi yang berada di Partai Gerindra, PAN, Golkar, Demokrat, PBB, Gelora dan Garuda, hal itu tentu tak menjadi masalah. Bahkan memperbesar peluang Prabowo menjadi pemenang Pilpres 2024. Sementara bagi partai pendukung Capres-Cawapres lainnya, ini adalah bahan untuk menyerang.
Politik dinasti yang katanya coba dibangun Jokowi terus dikait-kaitkan dengan Prabowo Subianto. Dengan niat tentu mendegradasi elektabilitas Prabowo yang sampai hari ini menjadi yang tertinggi versi mayoritas lembaga survei. Apalagi, setelah pendaftaran dua pasangan sebelumnya, belum menurunkan nama Prabowo di papan atas survei.
Terlihat, para kader partai non-KIM, politik dinasti akan terus menjadi peluru yang diluncurkan. Tanpa mereka sadar, para ketua partai mereka juga lebih dalam menjalankan politik dinasti. Kalau memakai norma yang sama. Ada yang menjadikan istri dan anak-anak mereka sebagai penerus. Baik secara langsung atau yang menjadi kepala daerah, akan menempatkan istri dan anaknya di legislatif. Tak jarang, ada juga yang langsung ‘mewariskan’ jabatan mereka kepada keluarga.
Kalau hal demikian disebut sebagai politik dinasti, maka sudah banyak terjadi di Indonesia, bahkan di Sumbar. Banyak para calon yang tanpa malu menyebutkan anak pejabat itu, istri mantan ini, atau keluarga ini dan itu untuk sekadar merayu masyarakat. Memampangnya dengan besar pada alat-alat peraga mereka tanpa malu.
Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin D. Roosevelt mengatakan, “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu.” Roosevelt mengatakan itu, karena dia adalah satu-satunya Presiden Amerika yang berkuasa selama 4 periode. Tidak akan mudah bagi Gibran untuk ini, jadi tak perlu pula terlalu dirisaukan. (Wartawan Utama)
















