“Bagi Buya Hamka, Chatib Soelaiman adalah pencinta tanah air sejati, loyal kepada yang di atas, setia kawan, dan keras hati. Buya Hamka juga menyebut Chatib kaya teori, penuh inisiatif, pandai merancang karya besar, tidak suka menonjolkan diri, dan rendah hati sebagai ciri pribadi yang kuat. Jiwanya mencerminkan masyarakat Minangkabau yang kuat berlandaskan ketaqwaaan dalam agama Islam,” kata Fajar.
Tak hanya mengutip kenangan Buya Hamka tentang Chatib Soelaiman, Fajar juga mengutip pernyataan mantan Gubernur Sumbar Marlis Rahman dan sejumlah sejarawan di Sumbar tentang sosok Chatib Soelaiman. Para sejarawan itu termasuk mendiang Profesor Mestika Zed, Profesor Dr. phil. Gusti Asnan, Dr Wannofri Samri, dan Siti Fatimah dari UNP.
Menurut Profesor Gusti Asnan, Chatib Soelaiman mulai berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia pada era politik represif Belanda. Selain melalui jalur pendidikan (mengepalai HIS Muhammadiyah) dan politik (menjadi pengurus Partai Permmi dan PNI Baru), Chatib Soelaiman juga berjuang melalui ekonomi (mendirikan Bumiputera).
Bahkan, Chatib juga menjadi salah satu aktor utama panggung sejarah perang kemerdekaan Indonesia. Dan, Chatib pun berpulang sesudah rapat merundingkan strategi perjuangan. Chatib Sulaiman dan puluhan suhada lainnya tewas diterjang peluru Belanda segera setelah mereka rapat merundingkan strategi menghadapi serbuan Belanda.
Kematian pada subuh 15 Januari 1949 itu membuktikan bahwa hingga akhir hayatnya, Chatib Sulaiman masih memikirkan dan ikut terlibat dalam upaya mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negaranya. Bahkan dia rela menyerahkan jiwanya demi bangsa dan negara. (uus)




















