Bayangkan saja, jika gara-gara mencaleg, seseorang harus kehilangan rumah dan harta benda mereka. Dan akan sangat sulit untuk kembali bangkit, karena hal-hal dasar atau pokok yang ‘ditumbalkan’ untuk hal-hal yang sebenarnya belum begitu penting. Sebuah pekerjaan yang benar-benar sia-sia. Dan merugikan orang-orang tercinta.
Itu masih belum seberapa. Ada pun yang gagal menjadi Caleg, setelahnya harus berurusan dengan bank atau lembaga keuangan lainnya. Mereka tak sekadar menjual rumah, tapi juga meminjam dengan berbagai cara. Kalau kalah, jangankan pulang modal, yang ada saja habis dan utang tumbuh tak terkendali. Mereka ini akan menjadi olok-olok masyarkat dengan sebutan Caleg ‘taduduak’ atau Caleg ‘bakabek’ kapalo.
Caleg taduduak adalah plesetan dari Caleg yang duduk atau berhasil jadi anggota dewan. Mereka terduduk di tempat yang salah dan dikenal sebagai orang gagal. Orang yang awalnya yakin akan menang atau duduk di kursi Dewan, malah kalah total dan menyesali hidupnya.
Lain lagi cerita Caleg bakabek kapalo atau terikat kepala. Mereka ini diibaratkan lalu dan sangat sakit. Utamanya kepala. Mereka akan mengikat kepalanya, agar lebih tenang. Ibaratnya, orang seperti ini sudah sampai terganggu jiwanya. Sudah mengarah kepada ODGJ atau orang dengan gangguan kejiwaan. Kalaulah tak boleh menyebut gila atau tak waras lagi. Akibat menjual rumah, berutang dan mengambil langkah yang salah lagi demi politik.
Lagipula, jika pun nantinya berhasil mencapai tujuan politik dengan menjual rumah, belum tentu juga akan sejahtera. Banyak yang langsung menggadaikan SK DPR sampai DPRD Kabupaten/Kotanya ke bank. Langsung mengambil pinjaman maksimal, tapi tak lagi menerima gaji selama lima tahun menjabat. Ini lebih miris lagi, karena sebagai wakil rakyat, pekerjaannya tidak akan maksimal.
Biasanya, wakil rakyat seperti ini tidak punya pekerjaan tetap atau usaha yang baik dan lancar. Mereka memilih menjual aset untuk modal kampanye. Jika menang, poin utamanya pasti mengembalikan apa yang telah dikorbankan. Salah satunya dengan menggadaikan SK yang begitu mudahnya cair di perbankan. Bahkan sebelum pelantikan, para wakil rakyat itu sudah mulai didekati bank-bank yang bersedia menawarkan kredit untuk mereka.
Setelah SK tergadai, jangan harap wakil rakyat ini akan peduli dengan rakyatnya. Dia sudah merasa menbeli suara rakyat dan tinggal duduk manis menikmati hasilnya di Dewan. Untuk biaya harian dan operasional, jatah kunjungan kerja (kunker) akan dimaksimalkan.
Kalau perlu tiap pekan ke luar daerah, paling hari Senin atau Jumat saja di kantor, selebihnya ya jalan-jalan dengan APBD. Syukur-syukur banyak lebihnya untuk biaya ini itu. Kalau konstituen mendekat, tunggu dulu. Nantilah kalau Pemilu sudah di depan mata, mereka jadi Sinterklas lagi. “Beli” suara rakyat kembali.
Wakil rakyat seperti ini sangat banyak. Bahkan di beberapa DPRD, hanya beberapa orang anggota saja yang tak “menyekolahkan” SK mereka ke bank. Itu pun orang yang alergi perbankan karena dinilai riba, atau pengusaha yang tak ingin berurusan dengan bank. Biasanya, usahanya maju dan tetap berkembang meski sudah jadi wakil rakyat. Meski lebih banyak absen dari dewan dan memilih tetap berbisnis di luaran.
Jadi, sebelum melangkah jauh, baiknya berpikir kembali. Bagi yang tak tercatat sebagai Caleg dalam daftar Caleg sementara (DCS$, baiknya bersyukur karena tak harus keluar uang banyak. Nah, yang sudah masuk DCS dan akan segera DCT, ukur-ukur lagi diri dan kemampuan. Jangan sampai dipaksakan, masih ada waktu. Lebih baik gunakan untuk keperluan lain. Tak perlu memaksa ini dan itu agar terlihat gagah sebagai Caleg. Karena orang sudah tahu juga isi kantong kita.
Mantan bos Apple Steve Jobs pernah mengucapkan sebuah bahasa bijak, “Jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri Anda.” Karena kitalah yang paling tahu dengan kemampuan, modal, basis dan kekuatan kita. Bukan orang lain yang belum tentu peduli pada kita, apalagi memikirkan kita sukses dalam kontestasi. (Wartawan Utama)
















