Ada tujuh kriteria materi ceramah agama yang disampaikan para penceramah berdasarkan pedoman Kemenag.
1.Bersifat mendidik, mencerahkan, dan konstruktif. 2. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan, hubungan baik intra dan antarumat beragama, dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. 3. Menjaga Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
4.Tidak mempertentangkan unsur suku, agama, ras, dan antar golongan. 5. Tidak menghina, menodai, dan/atau melecehkan pandangan, keyakinan, dan praktik ibadat umat beragama serta memuat ujaran kebencian. 6. Tidak memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan intoleransi, diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif. 7. Tidak bermuatan kampanye politik praktis.
Ada dua poin utama yang dikejar Kemenag dalam Surat Edaran ini. Pertama adalah provokatif. Dalam KBBI, provokatif berarti bersifat provokasi; merangsang untuk bertindak; bersifat menghasut. Jadi, Kemenag begitu mengkhawatirkan jika ada materi-materi ceramah yang bersifat menghasut. Meski pikiran kita tentu larangan ini adalah berfokus pada menghasut masyarakat agar tidak melakukan aksi provokasi soal pemerintah.
Pastinya, jika terjadi ceramah atau khutbah Jumat yang bersifat provokasi terhadap pemerintah, bakal ada ‘intelijen’ yang bergerak merekap laporan. Bisa saja para penceramah, dai, ustaz dan lainnya akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan materi yang mereka sampaikan. Jika terbukti melanggar, tentunya akan ada sanksi yang menunggu. Bisa-bisa ini akan menimbulkan kehebohan baru di tengah masyarakat.
Karena provokatif seperti apa yang dimaksud Kemenag, akan multitafsir dalam praktiknya nanti. Sehingga membuat banyak penceramah akan sangat berhati-hati dan takut dalam menyampaikan dakwahnya. Kemenag yang punya ‘jaringan’ luas akan terus bergerak sebagai pemantau para dai dalam bertugas. Dikhawatirkan akan membuat ketakutan baru yang menurunkan kualitas dakwah itu sendiri.
Kedua, kampanye politik seperti apa yang dilarang oleh Kemenag juga belum jelas. Apakah terfokus kepada partai politik saja, atau juga bicara soal calon Presiden dan wakil Presiden. Kalau larangan ini berupa kampanye politik terkait konten atas Pemilu, bolehlah dilarang. Kampanye sendiri menurut KPU adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan citra diri peserta Pemilu.
Banyak syarat yang harus dipenuhi untuk suatu tindakan disebut kampanye. Apakah para penceramah akan tersangkut kampanye atau tidak, butuh pihak berwenang dalam mengadilinya yaitu KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apakah setiap dai menyebut mama partai adalah kampanye, harus dikaji kembali. Apakah sudah masuk unsur “meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan citra diri peserta Pemilu.” Kalau belum, ya belum kampanye namanya.
Hal lainnya adalah, aturan ini bisa saja membuat suasana Pemilu 2024 tidak akan sejuk dan mencekam. Sejatinya, para dai yang berkualitas akan bisa menjabarkan kriteria pemimpin idaman yang bisa dipilih agar negara ini lebih baik. Bukan sekadar ceramah hampa yang mengulang materi-materi di buku ceramah atau khutbah semata. Tapi memastikan semua warga Indonesia memilih yang terbaik dan sesuai kriteria agama dalam memilih pemimpin.
Kita harus berbaik sangka sebenarnya dengan aturan baru Kemenag ini. Karena pasti bertujuan mulia dan untuk kemaslahatan semua. Mari kita ingat apa kata Presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman “Gusdur” Wahid yang menyebut, “Keberhasilan pemimpin diukur dari kemampuan mereka dalam menyejahterakan umat yang mereka pimpin.” Apakah aturan ini akan memihak rakyat, atau sekadar hanya untuk mengamankan kekuasaan semata. Tunggu saja. (Wartawan Utama)
















