Selanjutnya pada Pemilu 2014 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan ditiadakan untuk DPRD.
Sementara Pemilu 2019 dan 2024 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4% dan berlaku nasional untuk semua anggota DPR. Sampai hari ini, belum ada aturan baru yang mengubah PT 4 persen ini. Meski banyak yang melakukan gugatan agar PT tidak diberlakukan lagi atau 0 persen. Namun gugatan itu sama dengan gugatan Presidential Threshold 0 persen yang juga ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
MK pernah menolak permohonan uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam permohonannya, Perludem menggugat Pasal 414 Ayat (1) mengenai ambang batas parlemen 4 persen. “Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (27/8/2020).
Saat ini ambang batas 4 persen dalam UU 7/2017 tentang Pemilu sedang digugat Partai Ummat ke MK. Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, mengatakan, aturan parliamentary threshold yang digugat ke MK termuat dalam Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu.
“Partai Ummat mengajukan judicial review atau peninjauan kembali atas pasal bermasalah itu, dan kami mengajak segenap anak bangsa bersama-sama menegakkan keadilan. Partai Ummat berjuang melawan kezaliman dan menegakkan keadilan,” tegas Ridho, Selasa (5/9/2023).
Dia menganggap PT telah membuat ketidaksetaraan bagi partai politik dalam memperoleh kursi di parlemen. Dia mencontohkan, ketidakadilan ambang batas parlemen terjadi pada PPP yang pada Pemilu 2019 hanya memperoleh 4,52 persen suara, karena berhasil menang di daerah pemilihan yang memiliki kuota kursi banyak. “Sangat tidak mencerminkan keterwakilan pemilih yang tersebar dan beragam di wilayah NKRI,” kata Ridho.
Ketakutan akan 4 persen ini semakin terlihat jelang Pemilu digelar. Jika gugatan Partai Ummat ini diterima dan selesai diputus MK jelang 14 Februari 2024 atau tidak, pastinya bisa mengubah sedikit warna parlemen. Karena PT yang awalnya dianggap untuk menyederhanakan partai di DPR ternyata tidak memberikan dampak yang baik. Setiap Pemilu tiba, partai akan kembali bermunculan dan semakin banyak.
Kita lihat partai korban PT 2019 yang meski mengumpulkan jutaan suara, tapi tak ada kursi di Senayan. Tujuh partai meraih suara di bawah ambang batas parlemen yaitu: 1. Perindo: 3.738.320 (2,67 persen); 2. Berkarya: 2.929.495 (2,09 persen); 3. PSI: 2.650.361 (1,89 persen); 4. Hanura: 2.161.507 (1,54 persen); 5. PBB: 1.099.848 (0,79 persen); 6. PKPI: 312.775 (0,22 persen); dan 7. Garuda: 702.536 (0,05 persen). Sangat memiriskan memang, suara-suara itu menguap begitu saja.
Kini, semu pengurus partai harus bekerja keras memastikan tempat mereka di DPR. Sebanyak 18 partai itu harus memastikan suara minimal mereka sekitar seperti PPP 2019 yang memperoleh 6.323.147 suara atau 4,52 persen. Kalau tidak ya siap-siap hilang kembali selama lima tahun dan fokus membina partai di daerah saja. Winston Churchill, Negarawan dan Peraih Nobel sastra (1953) dari Inggris mengatakan, “Dalam perang Anda hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik Anda bisa mati berkali-kali.” Jangan sampai PT membuat partai dan tokohnya mati berkali-kali setiap Pemilu. (Wartawan Utama)
















