Tidak hanya Rudi, istrinya Eliza Eka Putri juga maju ke DPRD Sumbar dari PAN Dapil Sumbar VIII yang terdiri dari Pessel dan Kepulauan Mentawai. Eliza mendapatkan nomor urut 3 dan siap bersaing dengan incumbent Muhayatul. Rudi menyatakan maju ke DPR RI, karena merasa bisa berkiprah lebih baik untuk Sumbar, utamanya Pessel. Dia mengakui, banyak keterbatasan saat menjadi Wakil Bupati.
Dari Partai Golkar ada suami istri yang menjadi Caleg. Yaitu mantan Bupati Dharmasraya Adi Gunawan yang kini Wakil Ketua DPRD Dharmasraya. Pemilu mendatang, Adi tetap maju ke DPRD Dharmasraya dari Dapil II (Sitiung, Padang Laweh, Timpeh). Sementara istrinya, Zaksai Kasni maju dari partai yang sama untuk DPRD Sumbar dari Dapil Sumbar VI (Dharmasraya, Sijunjung, Sawahlunto, Dharmasraya dan Padangpanjang).
Dari PKS juga ditemukan adanya suami-istri yang nyaleg pada Pileg mendatang. Yaitu Wakil Ketua DPRD Padang Arnedi Yarmen yang kembali maju dari ke DPRD Padang Dapil Padang VI (Padang Utara, Padang Barat dan Nanggalo). Istrinya, Tasnidar menuju DPRD Sumbar dari Dapil Sumbar I (Kota Padang) di nomor urut 3. Pemilu 2019 lalu, Tasnidar malah dimajukan PKS untuk Caleg DPR RI Dapil I.
Dari Partai Gerindra juga ada, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dan istrinya, Himmatul Aliyah. Muzani jadi bakal Caleg DPR RI Partai Gerindra untuk Dapil Lampung I dengan nomor urut 1. Himmatul maju lewat partai yang sama untuk berlaga di Dapil DKI Jakarta II dengan nomor urut 1.
Mungkin dari daftar ribuan Caleg yang mendaftar ke KPU, masih banyak lagi pasangan suami-istri yang mencalonkan diri. Bahkan, tidak hanya berbeda tingkatan atau berbeda Dapil, kemungkinan masih ada Caleg suami istri yang didaftarkan oleh partai yang sama di tingkatan dan Dapil yang sama. Tapi, biarkanlah pemilih yang memutuskan, siapa yang berhak menuju kursi Dewan.
Banyak alasan kenapa ‘harus’ suami istri maju pada Pemilu secara bersamaan. Salah satunya karena suami yang biasanya bertugas di eksekutif telah menyelesaikan masa jabatannya. Sementara istri yang sudah duduk di DPRD atau DPR, tidak mungkin diistirahatkan. Jadilah pasangan itu maju, meski berbeda Dapil sampai berbeda partai.
Alasan lainnya karena banyak partai politik yang kesulitan memenuhi kuota perempuan 30 persen yang telah ditetapkan Undang Undang Pemilu. Salah satu langkah mudah adalah meminta istri atau anak perempuan pengurus partai masuk ke daftar Caleg. Hal ini tentu memudahkan, daripada harus meminta kader perempuan lain yang dimasukkan dan harus pula dibiayai.
Selain itu, pasti juga ada perempuan-perempuan tangguh yang bisa menjadi corong partai politik di parlemen atau DPRD. Maju karena telah memiliki kapasitas, kualitas dan massa yang pasti. Sementara sang suami tetap bersikukuh juga ingin maju dan keduanya pun harus berjuang di waktu yang sama. Saling dukung adalah kunci utama, jika keduanya tak ingin kehabisan energi.
Banyak pihak yang mulai mengapungkan masalah suami istri nyaleg ini. Seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai fenomena satu keluarga menjadi bakal caleg dari satu partai yang sama ini merupakan bentuk politik kekerabatan. Fenomena ini disebut merusak demokrasi dari banyak sisi. Bahkan berpotensi merusak proses kaderisasi partai dan membuka peluang terjadinya korupsi saat terpilih.
Mungkin banyak alasan lain kenapa suami-istri nyaleg ini terjadi. Semoga dengan banyaknya perempuan maju ke DPR/DPRD, bisa membuat kantor wakil rakyat lebih hebat. Seperti yang disebut mantan Perdana Menteri Inggris Raya, Margaret Thatcher, “Dalam politik, jika Anda ingin sesuatu dikatakan, tanyakan pada seorang pria; jika Anda ingin sesuatu dilakukan, mintalah pada seorang wanita.” Perempuan-perempuan dalam politik akan menjadi pembeda jika kualitasnya memang ada, bukan sekadar karena keluarga apalagi suami. (Wartawan Utama)
















