Ada satu masalah yang juga kerap muncul soal tandem-tandem ini. Si Caleg daerah yang awalnya bersemangat membantu tandemnya, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Karena ternyata, alat peraga yang diberikan kepadanya hanya berupa spanduk atau baliho saja, tanpa kayu dan juga alat pemasangnya. Padahal itu yang lebih mahal.
Apalagi, sangat jarang warga yang menerima begitu saja lokasi atau tempatnya dipasang alat peraga sosialisasi Caleg. Mereka meminta imbalan mulai dari Rp50 ribu sampai ratusan ribu. Bahkan tak jarang juga meminta bantuan ini dan itu, barulah bisa lokasi mereka ditempel poster atau spanduk. Kalau tidak, jangan harap bisa dipasang. Kalaupun terpasang, satu atau dua hari sudah dibuka pemilik rumah/tempat.
Konflik lain yang bisa terjadi adalah ‘kecemburuan’ Caleg daerah kepada Caleg pusat yang ternyata tidak hanya membantu dirinya saja. Si Caleg pusat juga terang-terangan membantu Caleg daerah yang menjadi rival mereka. Atau bahkan bisa lebih meruncing, saat si Caleg daerah merasa Caleg pusat lebih peduli kepada saingannya ketimbang dirinya.
Satu hal yang akan membuat tandem Caleg ini adem, jika Caleg pusat memiliki popularitas atau elektabilitas yang tinggi. Hal itu dirasakan bisa meningkatkan suara mereka juga saat Pemilu. Karena merasa akan dianggap dekat dengan Caleg pusat, apalagi itu mantan pejabat daerah atau juga incumbent DPR RI. Mungkin, akan ada juga yang rela mengeluarkan uang pribadi agar bisa meraup sedikit ‘berkah’ dari pasangan tandemnya.
Selain bertandem dengan para Caleg satu partai, secara diam-diam akan ada Caleg yang bekerja sama dengan luar partai. Hal ini biasanya karena hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Misal, satu Caleg partai merah DPRD Sumbar dari satu Dapil akan bekerja sama dengan Caleg partai biru DPRD Kabupaten/Kota.
Secara kepartaian mereka tentu akan terlihat tidak kerja sama, tapi secara kekaluargaan akan bertandem di lapangan. Warga atau pemilih ada juga yang tidak akan mempersoalkan. Karena biasanya, hubungan kakak-adik, ibu-anak, bapak-anak lebih dirasakan oleh masyarakat ketimbang berbeda partai. Satu hal akan disampaikan, partai hanyalah alat mendapatkan kursi, yang penting kekeluargaan.
Tidak hanya sesama Caleg DPR/DPRD saja yang bisa bertandem. Di beberapa daerah juga terlihat ada calon anggota DPD RI yang bertandem dengan Caleg DPR dan DPD. Hal ini sebenarnya aneh, karena DPD dijadikan alternatif untuk utusan rakyat tanpa partai. Tapi, mereka tetap menggunakan tandem partai untuk mendapatkan suara.
Apalagi, ada sejumlah calon DPD yang sebenarnya adalah orang partai politik, bahkan pernah menjadi anggota DPR atau DPRD dari partai tertentu. Majunya mereka ke DPD, ada yang secara resmi direstui dan didukung partai politik. Meski begitu, tandem antara calon DPD dan legislatif ini bisanya tidak terang-terangan. Kalaupun ada, itu hanya satu satu saja dan tidak terlihat banyak.
‘Tandem’ lain yang juga lazim adalah menggandeng calon Presiden (Capres) di berbagai alat peraga. Hal ini mayoritas adalah, si Caleg DPR/DPRD ingin mendapatkan tuah atau istilahnya caottail effect (efek ekor jas) dari Capres tertentu. Karena dianggap, dukungan kepada Capres bisa berpengaruh kepada pilihan masyarakat.
Sejatinya, tandem-tandeman ini adalah kerja sama. Penulis motivasi dari Amerika Serikat Napoleon Hill pernah berujar, “Ketika sekelompok manusia bersatu dan bekerja sama dengan harmonis, peningkatan energi yang tercipta melalui kerja sama tersebut dialami setiap individu di dalam kelompok.” Kalau memang saling menguntungkan dan menambah poin, kenapa tidak merangkul tandem yang baik. Tapi kalau hanya dimanfaatkan saja, baiknya piker-pikir lagi. (Wartawan Utama)
















