Oleh: Reviandi
Menjadi calon anggota legislatif (Caleg) sedang tren saat ini. Begitu banyak orang yang tiba-tiba menjadi Caleg dan menebar berbagai cara untuk meraup suara pada Pemilu 2024. Banyak yang kaget, ketika seseorang yang sebenarnya pendiam, tak bermasyarakat, bahkan cenderung tak dikenal, tiba-tiba menjadi calon wakil rakyat di berbagai tingkatan.
Satu hal yang dirasa berat menjadi Caleg adalah biaya atau ‘modal’ yang harus dikeluarkan. Tidak sedikit yang harus dibayar untuk sekadar membuat alat peraga kampanye seperti spanduk, stiker, baliho, billboard dan sejenisnya. Kalau diikuti kata hati, atau kata para ‘pemain’ di bidang politik, tak akan sedang-sedang duit di tabungan.
Tak sedikit yang harus ‘melego’ harta bendanya jelang Pemilu. Baik itu kendaraan, tanah, rumah, ruko dan sebagainya. Kalau yang digadaikan atau dijual itu tak dipakai atau aset yang diam tak masalah. Tak jarang ada juga yang melepas yang sedang ditempati, yang sedang dipakai berjalan dan lainnya.
Besarnya biaya mencaleg sudah tak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu langkah yang diambil adalah menggandeng Caleg lain, tapi berbeda tingkatan untuk meringankan beban. Misal, sebagai Caleg DPRD Kota/Kabupaten, akan bergabung dengan Caleg DPRD Provinsi dan atau DPR RI untuk menyosialisasikan diri.
Karena itu banyak saat ini terlihat di jalan-jalan, alat peraga yang memuat dua atau tiga calon di berbagai tingkatan. Tapi harus sama partainya, kalau tidak akan kena sanksi dari partai. Aneh saja rasanya, kalau untuk DPRD Kota/Kabupaten partainya berwarna kuning, Provinsi merah, dan pusat hijau. Tentu masyarakat juga akan bingung apa yang terlihat.
Jika tandem-tandem ini, banyak yang bertanya, siapakah yang akan mengeluarkan biaya lebih banyak. Dari informasi di lapangan, mayoritas yang akan mengeluarkan uang, baik 100 persen atau kurang adalah Celeg dengan tujuan lebih tinggi. Jika Caleg DPRD Kabupaten/Kota tandem dengan Provinsi, maka yang membayar adalah Caleg Provinsi. Begitu juga kalau Provinsi dengan pusat, yang membayar ya pusat.
Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi, karena Caleg tingkat II biasanya langsung berhadapan dengan masyarakat atau pemilih. Luas daerah pemilihan (Dapil) mereka yang hanya dua atau tiga kecamatan, bahkan ada yang satu, memungkinkan bisa bertemu langsung dengan masyarakat. Berbeda dengan tingkat provinsi yang bisa memiliki Dapil satu Kabupaten/Kota bahkan beberapa.
Apalagi Caleg pusat yang Dapilnya bisa lebih dari 10 Kabupaten Kota, seperti Dapil Sumbar 1 yang terdiri dari 11 Kabupaten dan Kota. Tidak mungkin rasanya seorang Caleg DPR RI akan turun langsung ke semua daerah dengan waktu dan luas geografis yang besar. Akan sangat menguras waktu, tenaga dan juga modal. Makanya, banyak Caleg DPR RI yang ‘merawat’ sejumlah Caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten dan Kota.
Dengan bertandem bersama Caleg di bawahnya, tidak mustahil seorang Caleg pusat bisa tersosialisasi sampai ke kecamatan atau nagari/desa meski tak pernah mampir ke lokasi. Tapi Caleg DPRD Kabupaten/Kotalah yang menyosialisasikan mereka dengan berbagai cara. Bisa dengan kartu nama, atau sekadar disampaikan dalam pertemuan.
Yang pasti, alat peraga sudah sampai ke masyarakat yang akan memberikan suara mereka ke bilik suara 14 Februari 2024. Meski tak ada jaminan juga Caleg daerah itu akan benar-benar ‘tulus’ membantu Caleg pusat. Karena, jumlah Caleg pusat yang juga banyak, bisa jadi para Caleg daerah main ‘dua kaki’ membantu yang lainnya.
Biasanya, Caleg DPRD Kabupaten/Kota menyatakan diri mereka tidak memiliki modal yang cukup. Dengan bantuan dari Caleg-Caleg pusat, mereka bisa bekerja lebih keras. Jika Caleg pusat dirasakan tidak memberikan apa yang mereka harapkan, bisa jadi berpindah ke Caleg pusat yang lain. Hal ini tak sekali dua kali terhadi, tapi acap kali setiap Pemilu.
















