Perjanjian Batu Tulis berisi tujuh pasal dengan pasal pamungkas soal komitmen Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Ketum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Namun perjanjian tersebut kemudian tidak jadi nyata, di Pilpres 2014 silam PDIP mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Bahkan 2019 juga kembali mengusung Jokowi-Ma’ruf.
Setidaknya, tujuh poin itu masih terbuka untuk dijawab pada Pilpres 2024. Enam poin utama lebih teknis kepada Pilpres 2009 dari dukungan koalisi PDIP-Gerindra terhadap Mega-Prabowo, pembagian tugas, bersama membentuk kabinet, 50:50 pendanaan Pilpres, dan lainnya.
Namun poin yang paling kuat adalah, poin ketujuh yang menyebutkan, Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014. Piagam itu ditandatangani 16 Mei 2009.
Perjanjian Batu Tulis itu mungkin dianggap tidak berlaku lagi, karena pasangan ini kalah dalam Pilpres. Megawati pun gagal menjadi Presiden dikalahkan anak buahnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Andai Mega-Pabowo menang, mungkin 2014 memang menjadi jatahnya Prabowo menjadi Presiden, namun harus menggandeng orang yang diusung Megawati sebagai Cawapres.
Terlepas dari isu liar Prabowo-Ganjar atau Ganjar Pranowo, secara matematis politik, hal ini sudah mengunci Pilpres. Karena keduanya adalah pemuncak hasil survei teranyar, bersama Anies Baswedan di posisi tiga. Jika ada yang bergabung di antara tiga ini, maka kemenangan akan terbuka lebar. Apalagi yang bergabung adalah peringkat satu dan dua, sementara yang ketiga sudah duluan deklarasi dengan Bacawapres Muhaimin “Cak Imin” Iskandar.
Ada juga yang menyebut, bergabungnya Prabowo-Ganjar atau kemungkinan bergabungnya PDIP ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) karena ketakutan semakin kuatnya Anies-Muhaimin yang disebut Amin. Itu mungkin hanya ‘halusinasi’ pendukung yang merasa sudah di ambang kemenangan saja. Padahal, secara survei, gabungan Anies-Imin yang diusung NasDem, PKB dan PKS itu masih berada di papan bawah.
Deklarasi besar-besaran bulan lalu itu tidak menggoyahkan hasil survei. Pasangan Amin tetap masih menjadi juru kunci di bawah Prabowo dan pasangan atau Ganjar dan pasangan. Apalagi kalau Prabowo dan Ganjar yang bersatu, niscaya Pilpres sudah selesai. Terlepas siapa yang menang, maka Pilpres kembali akan berlangsung satu putaran saja, seperti 2009, 2014 dan 2019. Hanya Pilpres 2004 yang berlangsung dua putaran.
Prabowo-Ganjar secara kepartaian akan sangat dominan ‘mengalahkan’ pasangan Amin. Dengan bergabungnya PDIP yang memiliki 128 kursi, pastinya juga menarik PPP dengan 19 kursi. Di dalam koalisi Sudha ada Golkar Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, PAN 44 kursi dan Demokrat 54. Total mencapai 408 kursi atau 71 persen. Pasangan yang lain terdiri dari NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi dan PKS 50, total 167 kursi atau 29 persen.
Tapi, Pilpres bukan hitung-hitungan kursi DPR saja. Karena sudah ada contohnya. Apalagi waktu Pilpres 2004 saat SBY-JK hanya diusung Demokrat, PBB dan PKPI, mereka mampu mengalahkan partai penguasa di DPR. SBY kerap berujar “Harapan dapat mengalahkan rasa takut jika kita percaya.” Sebenarnya, Copras-Capres ini masih terbuka untuk semua pihak. Asal jangan minder dan baper dulu. (Wartawan Utama)
















