Andre sendiri sebenarnya pada 2020 juga pernah digadang-gadang akan dimajukan Gerindra. Namun Nasrul Abit (NA) yang berstatus Wakil Gubernur Sumbar lebih dipilih karena kader senior. NA juga disebut lebih siap, karena sudah lima tahun mendampingi Gubernur Irwan Prayitno pascamemenangkan Pilgub Sumbar 2015. Andre Rosiade juga full mendukung NA saat Pilgub yang dimenangkan Mahyeldi-Audy itu.
Tidak hanya Andre Rosiade, begitu juga dengan sejumlah politisi lain yang disebut-sebut berpeluang maju di Pilgub Sumbar seperti Benny Utama dari Golkar, Ali Mukhni NasDem, Mulyadi Demokrat dan lainnya. Andai mereka lolos ke DPR RI, masih berpeluang dimajukan partainya menjadi calon Gubernur atau wakil Gubernur Sumbar 2024.
Tapi, apakah benar dimajukannya Pilkada itu akan jadi kenyataan, masih jadi perdebatan. Komisi II DPR yang membidangi hal ini dijadwalkan masih akan melakukan rapat di komisi mereka dalam waktu dekat. Apakah memungkinkan Pilkada serentak itu dimajukan atau tidak. Kalau mungkin, tentu harus ada aturan-aturan terbaru yang menguatkannya.
Padahal, aturan yang menyebut DPRD harus mundur jika maju Pilkada, sementara kepala daerah tidak itu adalah ‘kesalahan’ DPR sendiri. Yang membuat aturan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada itu kan pemerintah, baik eksekutif maupul legislatif. Jelang Pilkada 2020, aturan ini pernah digugat oleh sejumjah wakil rakyat dan orang biasa.
Mereka adalah anggota DPR RI F-Demokrat, Anwar Hafid, Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat F-Demokrat, Arkadius Dt. Intan Bano, anggota DPRD Sumbar F-Demokrat, Darman Sahladi dan seorang wiraswasta Mohammad Taufan Daeng Malino. Meminta Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada mengenai syarat anggota DPR/DPRD harus mundur apabila telah ditetapkan sebagai peserta Pilkada dibatalkan. Sayang, Mahkamah Konstitusi (MK) menolaknya.
Dalam pertimbangan putusan, hakim konstitusi, Saldi Isra, menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s yang digugat merupakan pelaksanaan putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Sehingga MK tidak bergeser dari sikap bahwa anggota DPR/DPRD harus mundur ketika ditetapkan sebagai paslon. Saldi juga meminta aturan tersebut tidak dipersoalkan kembali.
Melihat hal ini, jika ada kesepakatan antara pemangku kepentingan kepemiluan mengenai dengan pemajuan agenda pemilihan kepala daerah, seyogianya pembentuk Undang Undang merevisi terlebih dulu Undang-Undang tentang Pilkada. Karena, pemajuan penyelenggaraan Pilkada yang semula November menjadi September 2024 tentu mengandung konsekuensi. Baik anggaran, jadwal yang mepet dan lainnya.
Saat ini, pemerintah disebut sudah mulai ancang-ancang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Pilkada. Terbaru, Kapuspen Kemendagri Benni Irwan mengatakan usulan jadwal Pilkada dimajukan itu gagasan dari beberapa pihak baik dari akademisi hingga pengamat, hingga legislatif. Kemendagri memahami adanya usulan tersebut.
Sastrawan dan penulis kondang Goenawan Mohamad menyebut, “Demokrasi: ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kesepakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas.” Baiklah, kita tunggulah para pemangku kebijakan bersepakat dulu. Maju atau mundurnya jadwal kontestasi, belum tentu akan mengubah apa-apa untuk rakyat. (Wartawan Utama)
















