Hal itu mengingatkan kita sekitar 2018, saat Ganjar dianggap melecehkan azan setelah membacakan sebuah puisi di salah satu program televisi. Salah satu bait pada puisi yang dibacakan itu dinilai menyudutkan umat Islam. Bait tersebut berbunyi “Kau ini bagaimana. Kau bilang Tuhan sangat dekat. Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat.”
Puisi itu adalah karya KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang berjudul ‘Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana’. Saat itu, bait tersebut viral di media sosial. Berbagai komentar dari warganet pun muncul seiring dengan isu tersebut. Namun masalah ini selesai karena Ganjar menyebut, hanya membacakan puisi dari Gusmus. Baik itu pun dijelaskan bukan untuk menghina azan.
Dengan tampilnya Ganjar dalam ‘video klip’ azan saat ini, dia disebut mulai mendekat kepada politik identitas. Politik identitas berarti politik yang mengusung jati diri tertentu atau seseorang. Tapi di Indonesia, politik identitas lebih dekat diasosiasikan dengan politik yang membawa-bawa agama Islam.
Abdillah dalam buku “Politik Identitas Etnis (2002)” mendefinisikan politik identitas sebagai politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan tertentu, mulai dari etnis, agama, hingga jenis kelamin.
Sementara Cressida Heyes dalam buku “Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007)” menyebut, politik identitas sebagai suatu jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan tertentu.
Bisa diasosiasikan, politik identitas merupakan politik yang bertujuan merangkul kesamaan atas dasar persamaan-persamaan dari suatu kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti memperoleh pengakuan atas identitas kelompoknya atau meninggikan derajat dan martabat golongan. Meski kebanyakan di Indonesia, lebih dilekatkan kepada umat Islam.
Apakah Ganjar mulai masuk ke ranah politik identitas, biar lah yang lebih berwenang yang menyampaikannya. Karena, pastinya PDIP sebagai partai tempat Ganjar bernaung, tak akan mau dikaitkan dengan politik identitas. Mereka malah sering merasa menjadi korban politik jenis itu.
Menko Polhukam Mahfud Md mengajak masyarakat mewaspadai jika ada pihak yang memanfaatkan terjadinya polarisasi, politik identitas untuk mencapai kekuasaan. Katanya, diperlukan peran partai politik untuk memberi keteladanan dan membangun pemilu yang damai. Mahfud lalu meminta masyarakat mewaspadai jika ada pihak tertentu yang menggunakan politik identitas.
Di kancah politik lokal juga ada terjadi video azan yang diisi ‘model’ seorang politisi atau pejabat publik yang akan kembali tampil dalam Pilkada berikut. Tapi, karena skalanya lokal, tidak terlalu dipersoalnkan. Karena panasnya Pilkada tak sepanas Pilpres yang mulai mendekat.
Azan adalah sesuatu yang sakral, tak seharusnya disatukan dengan upaya-upaya untuk menggaet simpati, apalagi dikait-kaitkan dengan kontestasi politik. Biarlah azan menjadi suara pengimbau umat Islam mengerjakan shalat. Soal Ganjar di dalam azan Maghrib, biarlah dia yang tahu.
Utsman Bin Affan, seorang khalifah menyebutkan, “Tidak seorang pun yang menyembunyikan suatu rahasia di dalam hatinya, kecuali Allah akan menampakkan pada raut wajahnya atau melalui perkataan yang terlontar dari lidahnya”. Jadi, kita lihat saja, bagaimana azan di televisi itu ke depan. Mungkin taka da lagi Ganjar, atau malah Bacapres lainnya juga akan masuk. (Wartawan Utama)
















