JAKARTA, METRO–Ada pemandangan tak biasa saat JawaPos.com menyusuri blok B di Pasar Tanah Abang, pada Selasa, 12 September 2023. Lumrahnya, para pedagang sibuk melayani dan tawar menawar dengan pembeli.
Namun siang itu, beberapa pedagang justru sibuk berbincang di depan layar gawai yang ditaruh di atas meja dagangan. Di depan layar, mereka nampak menunjukkan beberapa pakaian secara online melalui fitur live shopping.
Salah satunya Fitri, seorang pedagang baju muslim di Blok B Lantai 5 Pasar Tanah Abang. Dia mengaku sudah lama melakoni live shopping dalam kurun satu tahun terakhir.
Adapun alasannya, demi mendapat cuan atau keuntungan dari sepinya pembelian offline. Kepada JawaPos.com dia mengaku, pembelian secara langsung di kiosnya hanya ramai di waktu-waktu tertentu saja.
Seperti saat memasuki Ramadan dan Lebaran, sementara hari-hari biasa, kebutuhan ibu-ibu untuk seragaman saja yang bisa diandalkan. Di era penjualan online yang banyak mengaku untung, Fitri justru sebaliknya.
Fitri mengeluhkan soal sepinya pembelian secara online, meski sudah melakukan Live Shopping hingga beriklan. Dia merasa tak mampu bersaing dengan penjual yang memberi harga ‘ancur-ancuran’ atau tak masuk akal, terutama di media sosial TikTok.
“Misalnya gamis. Gamis itu bahannya Rp 17.500 per meter, sedangkan gamis pemakaiannya kadang 2,5 meter atau kadang 3 meter. Belum ditambah ongkos produksi. Tapi di TikTok jualnya cuma Rp 44.900, masuk akal enggak? Ongkirnya gratis lagi,” kata Fitri saat ditemui JawaPos.com usai melakukan Live Shopping di kiosnya.
Fitri menyebut paling murah saja, dirinya menjual gamis Rp75.000. Itu pun harga ke reseller dengan syarat tertentu bukan langsung ke konsumen eceran. Jika ke konsumen eceran, dia pasti akan kompak menyamakan harga dengan yang biasa dipasarkan reseller.
Dia mengaku tidak bisa jika harus ikut-ikutan menjual barang di bawah harga dan jauh dari modal atau Predatory Pricing, seperti kebanyakan di TikTok. Salah satu alasannya karena
“Kita jangan sampai produsen menurunkan harga di bawah, kita ngasih ke distributor itu sama ngasih harga ke pembeli online. Nanti jatuhnya satu kita ancur sendiri, distributor hilang, nanti mereka nyari yang harganya di bawah lagi. Sudah reseller kita ilang, ditambah orang udah nggak percaya sama kita lagi,” ungkapnya.
Terkait predatory pricing, Fitri merasa sangat terbebani. Dia mengaku, banyak reseller jadi jarang belanja. Sementara stok di toko butuh dibeli untuk menutup biaya operasional.
“Makanya sekarang saya punya satu reseller besar di Bekasi. Saya bilang gini, ‘Kakak gimana jualan ginilah begini yuk, kita turunin harga. Saya turunin harga sekian, saya diskon. Nanti kakak saya kasih turun juga harga dari saya’. Saya gituin, kalau nggak digituin, ntar dia lari,” sambungnya.
Soal banyak harga yang tak masuk diakal, dia berharap layanan e-commerce bisa mendukung pedagang produsen dan reseller bisa terus berjualan. Jika tidak, yang terjadi justru produsen dan reseller bisa saingan harga dan cenderung membuat iklim penjualan yang tidak sehat.
Fitri sendiri tetap komitmen menetapkan harga wajar di penjualannya secara online. Meski mengaku nol pembeli selama berbulan-bulan, dia tetap teguh menghidupkan para reseller sembari membidik para pembeli-pembeli grosir di e-commerce.
“Karena di sini grosir jadi aku kasih ke reseller Rp 100 ribu, cuma kalau di live saya nggak berani jual harga reseller, karena reseller saya kan banyak. Nggak di Indonesia aja, di luar juga ada. Kalau saya kasih Rp 100 ribu ke dia (konsumen eceran), mati mereka (reseller). Mereka gak bisa jualan. Jadi kita tetap menjual sama, kalau di online saya jualnya Rp 135 ribu jadi mereka juga ngikutin Rp 135 ribu. Harus sama, kita nggak boleh nurunin,” tandasnya. (jpnn)
