Oleh: Reviandi
Tiba-tiba saja negeri ini heboh, padahal belum masuk waktu detik-detik terakhir pendaftaran calon Presiden dan wakil Presiden (Capres-Cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Heboh karena beredarnya statemen Sekjen DPP Partai Demokrat yang mengonfirmasi Bacapres mereka Anies Baswedan telah meminang Bacawapres Muhaimin “Cak Imin” Iskandar.
Sebenarnya saat Anies mengunjungi ibu Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yaitu Muhassonah Hasbullah itu dianggap biasa. Anies datang usai berziarah ke empat makam pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan mengunjungi kediaman Muhasonnah di kompleks Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Jombang, Jawa Timur (Jatim).
Tapi ternyata, kedatangan itu dapat disebut sebagai “pinangan” Anies kepada wakil ketua MPR RI itu. Karena besoknya, tiba-tiba saja sudah beredar informasi Anies dan Cak Imin berpasangan diusung Partai NasDem dan PKB. Banyak yang awalnya meragukan, dua partai itu bisa mengusung sepasang calon. Karena tidak menjadi pemenang atau runner Up pada Pemilu 2019 lalu. Apalagi sebelumnya NasDem berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS. Tiga partai. Sementara PKB sudah mengikat janji dengan Partai Gerindra yang menjadi salah satu partai dengan kursi terbanyak DPR.
Sekilas memang terlihat tidak cukup, tapi kalau berkaca dari UU Pilpres, ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dua partai itu sudah cukup. Tak perlu lagi dukungan partai lain, termasuk koalisi ‘lama’ mereka seperti Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pada Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% ) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Dari sisi suara memang kurang, tapi dari kursi DPR pasangan akademisi-politisi ini sudah bisa melenggang ke KPU. Karena 20 persen dari total 575 kursi DPR hanyalah 115 kursi. Sementara NasDem memiliki 59 kursi dan PKB 58 kursi. Total dua partai ini saja sudah 117 kursi. Jadi tak perlu lagi Demokrat dengan 54 kursi dan PKS yang hanya 50 kursi.
Sepintas memang sangat kejam apa yang terlihat di puncak isu. Tapi tidak ada yang benar-benar tahu, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa tiba-tiba Anies-Cak Imin diapungkan oleh Surya Paloh dan koleganya. Dan menjadi rancu jadinya, saat Anies masih disebut sebagai bagian dari perubahan. Karena NasDem dan PKB adalah partai utama atau yang sejak awal mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Jadi, tak sejalan jika masih menyebut sebagai koalisi perubahan.
Perubahan yang mana yang dimaksudkan Anies jika kampanye nanti. Dua partai yang menjagokannya berasal dari pemerintahan yang akan mereka lanjutkan, bukan ubah atau gantikan. Banyak yang menyindir ‘koalisi perubahan’ telah menjadi ‘perubahan koalisi’ pada Pilpres 2024 mendatang. Partai-partai yang telah mengikat janji dengan NasDem atau PKB tidak mau gegabah berucap.
Mungkin hanya Demokrat yang emosional mendengar informasi itu. Sekjen DPP Partai Demokrat, Teuku Riefky Harsya menyebut telah mengonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada Anies Baswedan. Selanjutnya, caci maki sampai cap pengkhianat pun melekat kepada Anies Baswedan dan Partai NasDem, utamanya Ketum Surya Paloh.
















