Dalam sebuah wawancaranya, Riza Falepi yang bernomor urut 31 tidak menampik ada faktor keberuntungan, namun kerja keras kader juga menentukan. Salah satu faktor keberuntungan itu, menurut dia, adalah nomor urut 31 calon DPD RI yang kebetulan diperolehnya saat pengundian nomor urut di KPU.
“Banyak yang mengatakan demikian dan saya tidak menampik nomor urut 31 itu sebagai faktor keberuntungan. Namun, kerja keras kader yang mendukung saya selama proses Pemilu juga sangat menentukan keberhasilan itu. Saya melihat hasil yang diperoleh ini sebagai kombinasi dari keduanya,” ujar Riza Falepi lagi.
Artinya, nomor urut memang tidak sepenting ketika sistem tertutup diberlakukan. Di mana yang akan berpeluang duduk di parlemen pertama adalah nomor urut 1, disusl nomor lanjutannya jika ada dua kursi dan seterusnya. Tapi, nomor masih akan menjadi salah satu hal yang penting bagi masyarakat atau pemilih nantinya. Karena, masyarakat lebih mudah mengingat nomor ketimbang nama yang akan mereka pilih.
Nah, andai tiga Bacapres terkuat ini dipastikan maju dan mendapatkan dukungan partai, pastinya hanya ada tiga pasangan yang akan maju di Pilpres 2024 ini. Maka, hanya tiga nomor utama pula yang akan bisa mendapatkan ‘tuah’ maksimal ini. Ada tiga partai, 1 PKB, 2 Gerindra dan 3 PDIP. Itu pun kalau nomor urut pasangan Capres itu sesuai dengan nomor partainya.
Berbeda dengan PKB dan Gerindra yang telah mendapatkannya pada Pilpres 2019, PDIP juga berpeluang bisa mendapatkannya Pilpres ini. Kalau Capres mereka Ganjar Pranowo jadi dimajukan dan memiliki pasangan Cawapres. Itupun jika Ganjar mendapatkan nomor urut yang sama dengan partainya, 3. Kalau tidak ya percuma.
Yang pasti, soal nomor urut Capres, KPU tidak akan berkompromi dengan parpol pengusung, karena akan memicu keributan. Partai ada 18, sementara Capres-Cawapres kemungkinan hanya tiga pasangan. Berbeda dengan nomor urut parpol yang dikembalikan kepada parpol, mau pakai yang 2019 atau ulang mencabut ‘lotre’ kembali. Hampir semua partai lama memilih nomor 2019, hanya PPP dan Perindo yang melakukan pengundian bersama partai baru.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat persepsi pemilih saat ini masih menganggap caleg dengan nomor cantik merupakan tokoh yang diutamakan oleh partai dan berkualitas. Padahal, ini hanya persoalan persepsi saja. Pada akhirnya, dalam sistem proporsional terbuka, keterpilihan seorang caleg ditentukan perolehan suara terbanyak.
Karena itu, dalam sistem proporsional terbuka pun masih ada perseteruan di internal partai untuk mendapatkan nomor urut kecil, entah menggunakan pengaruh ataupun uang. Dibutuhkan perbaikan serius apabila ingin memperbaiki kualitas representasi. Selain itu, perlu juga dijelaskan kepada masyarakat bahwa nomor urut tidaklah berpengaruh terhadap keterpilihan Caleg dan tidak mencerminkan kualitas Caleg.
Jadi, soal nomor urut ini tidak perlu pula dijadikan patokan atau hal-hal yang teramat penting. Karena yang terpenting adalah bagaimana menjaga kualitas Pemilu dan jaminan keamanan. Jangan lagi ada yang berperang karena nomor urutnya tidak sesuai dengan keinginan. Masyarakat sudah tahu kalau yang dipilih adalah yang suaranya paling banyak. Bukan nomornya paling cantik. Mari kita ingat pesan Presiden Soekarno, “Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan.” Jangan lagi ada yang gontok-gontokan karena Pemilu dan Pilpres. (Wartawan Utama)
















