Setiap mendatangi rumah sakit, sembari menangis, Linda Caicedo akan menanyakan hal yang sama, “Dok, apa saya bisa main bola lagi?”
Palu godam baru saja menghantamnya dengan keras: dia divonis mengidap kanker ovarium. Padahal, usianya baru 15 tahun dan satu per satu mimpinya mulai tercapai.
Dari mendapatkan tempat di skuad utama klub Deportivo Cali sampai terpanggil tim nasional (timnas) putri senior Kolombia.
Dokter memintanya berhenti dulu main bola sampai kankernya terkendali. “Dia hancur mendengar instruksi dokter itu,” kenang Herlinda Algeria, sang ibu, dalam siniar My New Favourite Futbolista sebagaimana yang dikutip nbcdfw.com.
Operasi pun dilakukan pada Maret 2020 dan sesudahnya disusul kemoterapi selama 6–7 bulan. Sepak bola, olahraga yang kata Herlinda dicintai Linda bahkan sejak masih dalam kandungan, harus benar-benar dijauhinya dulu.
Namun, ketangguhannya berbuah. Memasuki September tahun yang sama, Linda dinyatakan bebas dari kanker. Hanya berselang beberapa hari, dia pun sudah kembali berlatih di klubnya.
Dan, sekarang, tiga tahun berselang, Linda memimpin rekan-rekannya di panggung terhormat: Piala Dunia Putri 2023.
“(Kena kanker, Red) itu pengalaman mengerikan, tapi ternyata pada akhirnya bisa berubah jadi sesuatu yang positif,” katanya.
Penyerang 18 tahun itu hanyalah satu di antara banyak kisah from zero to hero di Piala Dunia Putri yang tengah berlangsung di Australia dan Selandia Baru tersebut.
Mereka menolak menyerah, bahkan ketika berada di jurang kegetiran.
Bek timnas Selandia Baru Rebekah Stott, misalnya, juga divonis kanker getah bening hanya berselang setahun dari Linda. Enam kali kemoterapi dijadwalkan untuk dia jalani.
Namun, dasar petarung sebagaimana gaya mainnya di lapangan, pesepak bola 30 tahun itu dinyatakan sembuh setelah melakoni empat kali kemo di antaranya.
Sinead Farrelly malah harus hiatus tujuh tahun dari olahraga yang dicintainya. Kecelakaan mobil tak hanya melukainya secara fisik, tapi juga mental. Dia dihantui trauma selama bertahun-tahun.
Sempat menjadi pengasuh anak, di tengah masa-masa sulit tersebut, gelandang 33 tahun itu juga membuka sisi kelam lain di kariernya: tindak pemaksaan seksual yang dilakukan bekas pelatihnya, Paul Riley.
Namun, sepak bola kembali membukakan jalan. Hanya pernah bermain 10 kali sejak mengalami kecelakaan, sisa-sisa jam terbang membuatnya cukup menjalani sekali trial sebelum diterima di klub NJ/NY Gotham FC.
Khadijah Shaw dan Rafaelle Souza sama-sama harus melewati masa kecil yang sulit. Kalau Rafaelle karena tak adanya klub putri di kota dan negara bagian dirinya berasal di Brasil, Khadijah akibat belitan kemiskinan dan suramnya masa depan sepak bola putri di Jamaika.
“Saya pernah harus lari dari lapangan karena ayah melihat saya latihan dan langsung mengejar,” kenangnya sebagaimana yang dikutip dw.com.
Jamaika tak punya liga putri. Timnas putri pun dibubarkan federasi setempat pada 2010. Itu yang membuat orang tua Khadijah menentang keras kemauan sang putri.
Beruntung, negeri Karibia itu memiliki Cedella Marley, musisi putri legenda reggae Bob Marley.
Seperti karya ternama sang bapak, Redemption Song, yang bicara tentang penebusan dan keberanian, Cedella mulai menebus tahun-tahun yang hilang dari sepak bola putri negerinya dengan mengumpulkan sponsor dan mengampanyekan pengumpulan dana.
“We forward in this generation// Triumphantly”. Begitu kata Bob dan begitulah efek yang dihadirkan sang putri. Liga putri profesional memang belum ada sampai sekarang di Jamaika.
Namun, Khadijah dan angkatannya terbantu betul dengan uluran tangan Cedella yang membuat mereka bisa unjuk kemampuan di ajang junior.
Dari sana tawaran beasiswa berdatangan, termasuk untuk Khadijah yang akhirnya berkuliah sambil bermain bola di Amerika Serikat. Angkatan yang tertebus itu akhirnya menjadi tulang punggung timnas Jamaika yang di edisi kali ini sudah kali kedua lolos ke Piala Dunia.
“Bertahun-tahun setelah yang dilakukan Cedella, tidak akan ada yang menyangka kami lolos beruntun ke Piala Dunia,” kata Khadijah yang bermain sebagai penyerang di Manchester City.
Sama tak menyangkanya dengan Linda, Rebekah, Sinead, dan Rafaelle. Mereka pernah jatuh berdebam dan hidup pernah terasa begitu kelam. Namun, Redemption Song benar adanya, “emancipate yourselves from mental slavery, have no fear for atomic energy.”
Para perempuan hebat di atas bisa bangkit berkat kekuatan mental dan keberanian mereka. Kini mereka berada di panggung terhormat dan menguarkan inspirasi kepada begitu banyak orang. (jpg)




















