Kembali kepada arahan Jokowi. Jika PSI bergabung, sebenarnya secara kursi DPR atau suara sah 2019, tak akan berpengaruh kepada dukungan pencapresan Prabowo. Karena PSI tak memiliki kursi di DPR, dan untuk mendapatkan 25 suara sah Pemilu 2019 juga sangat susah. Namun, bergabungnya PSI cukup membuat Prabowo dan koalisi partainya akan terbantu, utamanya di ibu kota.
Karena di DPRD DKI Jakarta, PSI punya 8 kursi yang cukup signifikan dan bisa berpengaruh terhadap pemilih. Selama ini, kader-kader PSI di sana cukup vokal dalam mengawal pemerintahan Gubernur Anies Baswedan yang akan maju sebagai calon Presiden. Meski kerap disebut partai yang “julid” terhadap Anies, cukup banyak kritik PSI yang akhirnya terbukti dan mengubah kebijakan.
Kini, dengan arahan Jokowi, PSI bisa saja mendeklarasikan diri mendukung Prabowo Subianto. Namun menariknya, apa yang membuat Grace menyebut ‘sesuai arahan Jokowi’ saat bertemu Prabowo. Sementara saat ini PDIP dengan semua instrument utamanya mati-matian menyebut Jokowi sudah full seratus persen mendukung Ganjar Pranowo. Karena sama-sama berasal dari PDIP dan dianggap akan meneruskan pemerintahan Jokowi.
Arahan Jokowi yang seperti apa yang diterjemahkan oleh PSI, andai mereka resmi bersama Prabowo. Apakah juga seperti Partai Bulan Bintanng (PBB) yang 2019 mati-matian mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, tapi saat ini juga telah secara resmi mendeklarasikan mendukung Prabowo Subianto. Ketum PBB Yusril Ihza Mahendra memang tak menyebut mendapatkan ‘arahan’ dari Jokowi.
Andai semua partai politik juga mengambil langkah yang sama dengan PSI, maka akan terjadi koalisi partai yang tak seimbang Pilpres mendatang. Karena, saat ini koalisi pemerintah yang dikomandoi Jokowi sangat besar. Andai benar arahan itu itu ke Prabowo, maka akan sangat berbahaya untuk PDIP. Karena baru satu partai pemerintah yang secara resmi mendukung Ganjar, PPP.
Sebenarnya, sudah ada partai pemerintah yang disebut merapat ke Prabowo, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN). Meski tak terlalu terang benderang, PAN seperti sudah mengajukan syarat mendukung Prabowo, kalau Cawapresnya adalah Menteri BUMN yang juga Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Apalagi tandem Gerindra, PKB telah menyebut, PAN dan Golkar sejak awal sudah condong ke Prabowo, ketimbang Ganjar, apalagi Anies.
Golkar sekarang sedang dalam masalah besar, saat Ketum Airlangga Hartarto tersangkut kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor minyak goreng yang sedan diproses Kejaksaan Agung (Kejagung). Airlangga juga sudah diperiska 12 jam pekan lalu dan cukup “membungkam” Golkar dari hiruk pikuk copras-capres. Golkar malah sekarang disibukkan dengan Musyawaran Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang menjadi pro dan kontra kader.
Apakah PAN dan Golkar juga akan mendengarkan ‘arahan Jokowi’ atau tidak, semakin menarik. Apalagi kedua partai ini, meski awalnya PAN tak mendukung Jokowi, kini benar-benar telah menjadi pengikut Jokowi. Ibarat kata yang sering beredar, semua akan Jokower pada waktunya. Dua partai ini masih menunggu hari yang tepat untuk memastikan dukungan mereka. Atau jangan-jangan masih memastikan, kemana arahan Jokowi.
Artinya, pada Pilpres 2024, penentunya adalah Jokowi. Presiden yang sebenarnya 2014 dan 2019 masih diragukan bisa menguasai beragam ego pimpinan partai politik dan pimpinan ormas. Kini, Jokowi telah menjadi simbol Indonesia secara utuh. Karena begitu menyatukan semua kekuatan di bawah genggamannya. Meski masih ada yang menyebutnya hanya sekadar ‘petugas’ partai saja.
Jika melihat komposisi copras-capres, rebutan Prabowo dan Ganjar dalam memaksimalkan dukungan Jokowi masih akan terjadi sampai pendafataran Capres ditutup KPU. Seperti kata Presiden Jokowi, “Untuk jadi maju memang banyak hambatan. Kecewa semenit dua menit boleh, tetapi setelah itu harus bangkit lagi.” Jadi, siapa yang kecewa dan siapa yang mampu bangkit, adalah mereka yang akan jadi pemenang sesungguhnya. (Wartawan Utama)
