SIJUNJUNG, METRO–Kekerasan terhadap perempuan, termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih menjadi “fenomena gunung es’. Di mana kasus kekerasan terhadap perempuan dan TPPO yang teridentifikasi, belum menggambarkan jumlah seluruh kasus di masyarakat.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Sumbar, Gemala Ranti diwakili Kepala Bidang (Kabid) Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak (PHPA), Rosmadeli mengatakan, kondisi tersebut terjadi, karena sebagian besar masyarakat masih menganggap kasus kekrasan terhadap perempuan merupakan “aib” dan masalah “domestik” dalam keluarga, yang tidak pantas diketahui orang lain.
Sedangkan untuk kasus TPPO, sebagian besar masyarakat belum memahami tentang TPPO. Sehingga menganggap hal tersebut wajar dan tidak pantas dilaporkan. Terutama jika pelaku keluarga sendiri, sehingga diselesaikan secara kekeluargaan.
Data Simfoni PPA Januari hingga Desember 2022 tercatat sebanyak 795 kasus kekerasan di Sumbar. Terdiri dari 228 kekerasan terhadap perempuan dan 567 kekerasan terhadap anak. Jumlah korbannya 848 orang (231 perempuan dan 617 anak). Dari 228 kasus kekerasan perempuan terdapat 125 korban kekerasan fisik (KDRT), 59 korban kekerasan psikis, 35 korban kekerasan seksual, 1 korban eksploitasi dan 2 orang korban perdagangan orang (trafficing), 27 korban penelantaran dan 22 korban kasus lainnya.
“Untuk menekan atau mengurangi kasus kekerasan perempuan dan anak dibutuhkan kebijakan komperhensif. Perlu adanya upaya pencegahan dan kampanye anti kekerasan oleh semua pihak dan elemen. Kebijakan pemerintah daerah dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga tidak kalah penting,” ungkap Rosmadeli saat kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan TPPO di Kabupaten Sijunjung, Sabtu-Minggu (29-30/7).
Rosmadeli mengatakan, salah satu upaya untuk menekan kasus kekerasan pada perempuan adalah dengan mewujudkan Desa/Nagari Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). “DRPPA merupakan desa yang mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak dalam tata kelola penyelenggaraan, pemerintahan desa, pembangunan desa, serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa yang dilakukan secara terencana, menyeluruh dan berkesinambungan,” terangnya.
