SUDIRMAN, METRO – Gempa bumi terus mengintai Sumbar. Hal ini karena secara geografis Sumbar dilalui oleh tiga sumber ancaman gempa bumi yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya.
Ketiga sumber ancaman gempa bumi tersebut adalah zona sesar Sumatera (Sumatera Fault Zone), zona subduksi pertemuan antara lempeng tektonik India-Australia dengan lempeng Eurasia dan sesar Mentawai (Mentawai Fault Zone).
Oleh karena itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar, Erman Rahman mengatakan, pihaknya saat ini terus berusaha agar masyarakat khususnya daerah yang berada dikawasan zona bencana untuk mendapatkan edukasi kebencanaan.
Poin penting, menurut Erman, semua pihak harus terlibat dalam memberikan edukasi kesiapsiagaan bencana terhadap masyarakat. Bisa dilakukan lintas sektoral dan bersama-sama.
“Kami baru saja melakukan rapat koordinasi mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Berbagai paparan dari ahli bencana termasuk potensi yang akan terjadi bila terjadi bencana. Untuk itu, hasil studi dan penelitian ini akan kami jadikan rujukan termasuk kabupaten dan kota,” ujar Erman, kemarin.
Menurut Erman lagi, ancaman terbesar adalah gempa dan tsunami karena dikhawatirkan bisa merenggut banyak korban jiwa, terutama masyarakat yang berada di pinggir pantai. Selain bencana itu, ancaman dari gunung berapi, angin puting beliung, tanah bergerak, longsor dan banjir juga mengintai.
“Lengkapnya potensi bencana membuat Sumbar disebut sebagai supermarket bencana,” kata Erman.
Maka dari itu pula, tutur Erman, semua lini harus bergerak, mulai dari pemerintah, kelompok masyarakat, serta pemerintah kabupaten dan kota. Ke depannya, setelah adanya rapat koordinasi mitigasi dan kesiapsiagaan bencana tersebut, isu bencana dan anggaran lebih besar.
Sementara, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar, Ade Edward menyebutkan, bahwa tsunami bisa saja menerjang pesisir barat Sumbar karena dipicu longsoran tebing bawah laut yang terletak di area Backthrust Mentawai, di antara Kepulauan Mentawai dan Pulau Sumatra.
“Berbeda dengan tsunami yang dipicu oleh Megathrust di sebelah barat Mentawai, tsunami karena longsoran tebing bawah laut di sebelah timur Mentawai akan tiba lebih cepat ke Padang,” kata Ade.
Ade menjelaskan, tsunami yang disebabkan longsoran tebing bawah laut bisa menerjang daratan tanpa perlu didahului gempa bumi, persis seperti kejadian tsunami di Selat Sunda. Ade menyebut, longsor tebing bawah laut bisa saja dipicu oleh ombak besar atau pasang surut dalam volume signifikan.
Gempa dengan magnitudo kecil saja, ujar Ade, juga bisa memicu adanya longsor tebing bawah laut yang akhirnya menyebabkan tsunami. “Longsor bawah laut Mentawai juga bisa menerjang daratan Sumbar tanpa didahului fenomena air pantai surut. Travel time mencapai daratan lebih cepat dari skenario selama ini yang 35 menit itu,” kata Ade.
Mengantisipasi potensi bencana yang mengancam Sumbar ini, Ade mengingatkan Pemprov Sumbar bersama instansi terkait untuk memastikan berfungsinya tide gauge atau alat pengukur muka air laut. Alat ini memiliki fungsi sebagai pendeteksi dini bila ada ancaman tsunami akibat adanya longsor bawah laut.
Ade menyebutkan, tide gauge yang dipasang di Mentawai bisa merekam adanya perubahan tinggi muka air laut secara mendadak dan memberi waktu bagi masyarakat di Sumbar daratan untuk mengevakuasi diri.
“Setelah kecolongan tsunami longsor di bawah laut Palu dan Anyer, sebaiknya tide gauge di Sumbar diaktifkan sebagai deteksi dini tsunami,” kata Ade. (mil)