PADANGPARIAMAN, METRO – Sudah 50 tahun kakek Arifin mengidap penyakit kusta. Karena kondisinya itu, dia terpaksa hidup terasing di gubuknya di Korong Badinah, Nagari Lareh Nan Panjang Barat, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padangpariaman.
Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan kakek 61 tahun itu, karena keterbatasan fisiknya. Setiap hari, dia hanya duduk-duduk di dalam gubuk kayu yang hanya memiliki satu pintu dan satu jendela itu.
Gubuk tempat ia tinggal sendiri selama 28 tahun terakhir sebenarnya jauh dari kata layak. Karena, isi gubuk ini juga seadanya, hanya ada 1 kasur yang sudah lusuh, 1 radio butut, dan 1 tungku kompor untuk memasak yang berjarak dua meter dari tempat tidurnya.
Di luar gubuk 3×3 meter dan berlantaikan semen kasar tersebut, terdapat sebuah bak penampungan air hujan seluas 2×1 meter dengan tinggi 1 meter. Di samping gubuk itu juga terdapat sebuah kolam ikan.
Pada Sabtu (26/1), sekitar pukul 11.30 WIB, hari beranjak siang tak kala POSMETRO Padang didampingi Bhabinkamtibmas Nagari Lareh Nan Panjang Barat, Aipda Fitriadi bertandang ke gubuk Arifin. Dia tampak sibuk mempersiapkan makan siangnya.
Sembari memasak mie instan, pria yang terlahir dengan nama Firman Zein tersebut berkisah awal mula dia menderita penyakit kusta. Kakek kelahiran September 1958 itu mulai merasakan sakit di tubuhnya saat dia duduk di kelas tiga SD. Kala itu dia merasakan badan panas dan muka memerah. Beberapa bagian tubuh mengalami mati rasa.
Ekonomi keluarga yang terbilang sulit di masa itu membuatnya hanya mendapatkan pengobatan secara tradisional di tahun pertama terserang kusta.
“Saya terpaksa berhenti sekolah karena mulai ada pembengkakan di berapa bagian kaki dan tangan,” ujar kakek Arifin.
Meski harus mengubur impiannya untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak sebayanya, dia tak pernah berputus asa. Ia menerima semua takdir yang telah digariskan kepadanya.
“Buat apa putus asa, semua ada hikmahnya. Kita harus optimis menjalani hidup bagaimanapun keadaan kita,” imbuhnya.
Dari rentang tahun 1969 hingga 1980 menjadi tahun-tahun yang berat bagi Arifin. Pasalnya, di rentang waktu tersebut satu per satu jari tangan dan kakinya terpaksa diamputasi karena sakitnya semakin parah.
Setelah sempat dirawat di rumah kakak dan adik kandungnya di kawasan Lubuk Alung, Arifin akhirnya memutuskan untuk hidup terasing di tanah kelahiran keluarganya di Korong Badinah semenjak tahun 1991.
Untuk bertahan hidup, Arifin mendapat bantuan makanan dari adiknya yang menjual sayur mayur di pasar Lubuk Alung, sekali dua minggu. Ada juga warga sekitar yang membantunya meski tidak rutin.
Kementerian Sosial (Kemensos) melalui Program Keluarga Harapan (PKH) bagi penyandang disabilitas juga membantunya, itu pun tak banyak hanya Rp1,8 juta per tahun.
“Uang itu cair tiga bulan sekali. Dulu nominalnya pernah Rp3 juta setahun, tapi sekarang jadi segitu, saya nggak ngerti, tetap bersyukur,” ucapnya.
Di tahun 2014 silam, Arifin pernah mencoba untuk berusaha. Dia menyemai 350 bibit ikan gurame memanfaatkan kolam di samping gubuknya. Namun ikan-ikan tersebut mati mengapung lantaran diracun orang tak dikenal.
Sejak saat itu, ia enggan untuk menyemai bibit ikan lagi. Praktis ia hanya duduk seharian sambil mendengarkan informasi dari radio bututnya. Di situ dia sempat mendengar, “27 Januari 2019, Peringati Hari Kusta Dunia (World Leprosy Day).” (z)