PASAR RAYA, METRO–Meski Pemko Padang kini terus mengupayakan penataan Pasar Raya Padang, namun tetap saja kondisi terkini pusat perniagaan di Kota Padang ini masih semrawut. Banyak sengkarut yang dikeluhkan para pedagang, mulai dari Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak tertata, parkir yang centang parenang, retribusi iuran dan persoalan lainnya.
Sekelumit permasalahan yang ada di pasar raya makin hari makin keruh. Pemilik toko diminta membayar iuran retribusi sesuai aturan, pemilik toko juga minta Pemko tegak hukum sesuai aturan perda.
Sejumlah pedagang dan pemilik toko pun mengeluhkan kondisi pasar ini, Senin (29/5). “Saat ini, jual beli kami sangat menurun. Bahkan tidak sedikit yang sudah gulung tikar dengan kondisi yang seperti ini,” ungkap Yuliastuti, salah seorang pedagang Fase III, Senin (29/5).
Selain pembeli yang semakin sepi, bagi para pemilik toko yang ada tetap membayar uang retribusi seperti biasa. Menurut Tuti, jika terlambat membayar maka akan dikenakan denda yang tinggi, sebesar 25%, dan diberi Surat Peringatan (SP).
“Kami dituntut membayar retribusi. Sebelum pandemi mereka menaikkan retribusi sebanyak 100% tanpa berkoordinasi dengan kami. Saat terjadinya wabah pandemi Covid-19, kami terpaksa tidak berjualan, dengan kondisi seperti itu, diminta terus membayar dan tidak ada semacam dispensasi dari pemerintah,” katanya lagi.
Tutu mengaku diminta retribusi sesuai aturan oleh petugas dari dinas terkait. Dengan begitu sebagai pedagang toko yang sudah menunaikan kewajibannya, dia juga meminta kepada dinas Pemko untuk menegakkan aturan berlaku. Yakni, mengembalikan fungsi parkir yang sudah dirampas oleh PKL
Menurut dia, meski SK Perwako No 438 belum bisa dicabut, namun Pemko menegakkan peraturan yang sesuai dengan yang tertulis di sana, tertata dan terukur dengan jelas. Sehingga tidak menjadi simpang siur terhadap masyarakat terutama yang menjadi pedagang baik PKL maupun pemilik toko.
Sekarang ini, menurut pengakuan Tuti, keberadaan PKL ibarat membuat toko di pinggir, yang ukuran lapaknya tidak layak lagi disebut lapak PKL karena besarnya hampir menyamai ukuran toko di dalam pasar.
“Secara tidak langsung, Perwako Nomor 438 ini sudah menghilangkan fungsi jalan, fungsi tempat parkir. Jika tidak ada tempat untuk parkir kendaraan, bagaimana pembeli akan datang untuk berbelanja. Jadi sebaiknya Pemerintah Kota bertanggung jawab atas peraturan yang dikeluarkan,” kata Anita, pedagang kain.
Sementara, Demis M.J Dwi Nanda salah seorang pemilik toko baju, mengaku mengalami pemerosotan pendapatan dengan kondisi pasar saat ini. “Untuk omzet sekarang ini, 50% dari biasanya tidak tercapai, palingan cuma sekitar 30-40 %, untuk membayar gaji karyawan aja kita susah ditambah lagi untuk membayar iuran retribusi,” kata Demis.
