Ada wartawan yang bisa beftranformasi menjadi tukang olah saat musim politik datang. Ada yang sekadar hanya untuk memenuhi target berita dari kantor redaksinya, ada yang ingin mendapatkan cuan sesuai perintah perusahaannya, ada juga yang benar-benar sudah menjadi tukang olah “profesional.” Memang, pekerjaan wartawan kadang membutuhkan skill mengolah yang tinggi, mulai dari narasumber orang biasa, sampai pejabat baik sipil dan militer.
Tak jarang, ada juga wartawan yang dilengkapi dengan skill memastikan seseorang bisa terpilih atau tidak terpilih. Menyebutkan beritanya bisa membuat seseorang mendapatkan apa yang diinginkan, atau kehilangan yang diimpikan. Tukang olah versi wartawan ini cukup banyak terlihat saat musim Pemilu tiba. Mereka bahkan bisa berada di hampir semua pihak, baik yang berseteru atau tidak punya keterikatan satu sama lain.
Wartawan yang tukang olah memang ada, tapi juga ada wartawan yang diolah oleh para kandidat. Ada wartawan yang harus nombok iklan atau pariwara berisikan “kampanye” ke perusahaannya. Apalagi kalau dijanjikan dibayar setelah pengumuman hasil. Jika kandidat kalah, amat jarang yang mau menyelesaikannya. Bahkan bisa meruncing kemana-mana, minimal perang di media sosial (medsos).
Yang paling ramai hari ini adalah tukang sorak atau orang yang mau berteriak-teriak menjagokan seseorang. Selain bersorak, mereka biasanya juga mengolah para kandidat ini. Namun, tipikal tukang sorak ini tak perlu dana banyak. Mereka hanya perlu cuan untuk sekadar penyambung hidup. Tapi, tak jaminan sorakan itu hanya untuk satu urang atau kelompok, tapi kepada siapa yang membayar saja.
Tukang olah yang mungkin lebih elegan adalah para pekerja survei atau konsultan politik. Kalau mereka bukan tukang olah, tentulah “galeh” tak laku dan para kandidat tak melirik mereka. Apalagi lembaga survei yang belum memiliki nama atau tokoh/penelitinya yang belum ternama. Mengolah calon adalah langkah yang paling jitu untuk mendapatkan cuan di musim Pemilu.
Akademisi pun ada yang menyamar menjadi tukang olah dalam kontestasi seperti ini. Tapi sifatnya mungkin hanya pasif. Dijadikan oleh orang-orang politik, partai atau kandidat untuk mengendorse sesuatu. Yang penting, obrolan akademisi ini bisa dijual dan meningkatkan nilai sang calon. Tapi, ada juga oknum akademisi yang aktif dalam mencari cuan dengan mengolah kandidat-kandidat yang masih belum dipegang konsultan politik.
Sebagai akademisi, yang bisa dikerjakan dalam menambah uang masuk adalah menjadi konsultan, atau menawarkan survei kepada para kandidat. Butuh gaya olahan yang kuat agar kandidat bisa ikut apa yang disarankan para akademisi itu. Akademisi tukang olah mungkin tak banyak, tapi ada saja di setiap kampus. Bahkan ada yang benar-benar menempel dengan para pejabat daerah, baik secara terbuka atau diam-diam.
Itulah yang selalu terlihat kalau baliho, spanduk dan poster-poster kandidat sudah bertebaran di daerah-daerah, dari kota sampai ke desa. Dari daerah sampai ke pusat. Belum lagi muncul tukang olah advertising dengan berbagai penawaran luar biasa mereka. Tak akan surut menawarkan, sampai sang kandidat memasang di tempatnya. Yang jelas, ada cuan yang bisa dibagi-bagi setiap musim datang.
Meski para tukang olah ini berkeliaran, semoga mereka ingat kata-kata pendiri Facebook Mark Zuckerberg, “Jika kita ingin mendapatkan pengaruh terbesar, cara terbaik untuk melakukannya adalah memastikan kita selalu fokus pada penyelesaian masalah yang paling penting.” Jangan sampai tukang olah malah merusak alek demokrasi yang kita ingin bernuansa badunsanak. (Wartawan Utama)




















