Dengan kata lain, Pasal 8 Ayat (2) huruf a PKPU 10/2023 bisa membuat berkurangnya jumlah caleg perempuan pada sejumlah dapil Pemilu DPR dan DPRD. Sehingga ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai bentuk ketidak-berpihakan pada upaya mewujudkan pemilu inklusif dan berkeadilan yang memungkinkan perempuan.
Selain itu, PP ‘Aisyiyah juga mendesak KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk mewujudkan dan memenuhi keterwakilan perempuan dalam komposisi Tim Seleksi ataupun keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Serta menyertakan kebijakan afirmasi yang tegas dalam PKPU tentang Seleksi Calon Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar tidak menegasikan dan menihilkan keterwakilan perempuan.
“Demikian halnya Bawaslu beserta jajarannya sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu harus mengimplementasikan affirmative action untuk terpenuhinya keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” lanjut Salmah.
KPU, Bawaslu, dan DKPP juga diminta untuk menyusun kebijakan tata kelola organisasi penyelenggara pemilu yang berperspektif adil dan setara gender dalam pengaturan, implementasi, dan pengelolaan tahapan ataupun organisasi pada setiap tingkatannya.
Terakhir, KPU diharapkan dapat mendorong partai politik untuk secara aktif membuka peluang seluas-luasnya kepada caleg perempuan di partai politiknya melalui kebijakan affirmative action. “Partai politik juga harus berkomitmen meminimalkan pencalegan yang berbiaya tinggi (high cost) serta tidak menempatkan perempuan sekadar sebagai pelengkap pada posisi sepatu ataupun sebatas vote gather semata,” pungkasnya. (jpg)




















