Artinya, jelang Pilkada serentak November 2024, akan ada enam Pj kepala daerah bertugas di Sumbar. Yaitu Kepulauan Mentawai, Payakumbuh, Sawahlunto, PadangÂpanjang, Pariaman dan Kota Padang. Mereka akan menunjukkan kinerja sebagai kepala daerah, bersanding dengan pejabat hasil Pilkada langsung yang berjumlah 13 Kabupaten/Kota dan satu Provinsi.
Artinya, sampai 2024 kita bisa melihat dan meninjau bagaimana kinerja para Pj Bupati atau Wali Kota ini. Mereka bekerja tanpa wakil, bahkan tanpa Sekda. Karena mayoritas yang menjadi Pj adalah Sekda. Karena dianggap sangat memahami persoalan daerah dan punya pengalaman dan ilmu yang mumpuni sebagai pejabat. Tak hanya orang yang terkenal, banyak uang dan mendapat dukungan partai politik.
Apalagi, para Pj bukanlah orang yang kembali dari “perang” mencari dukungan dan suara yang bernama Pilkada. Pj tak perlu keluar uang untuk mendapatkan partai, suara, tim sukses sampai dana saksi-saksi di tempat pemungutan suara (TPS). Bahkan tak perlu alat perada kampanye dari poster, baliho sampai bilboar besar di pinggir jalan atau di tengah kota. Belum lagi gugat menggugat yang berlarut-larut ke MK.
Pj Bupati pastinya bukan orang yang harus “pulang modal” setelah pertempuran Pilkada yang menghabiskan energi dan amunisi. Namun harus orang yang punya pengalaman baik di pemerintahan, dan punya track record yang baik secara kepemimpinan. Meski ada juga yang disebut menjadi Pj karena kedekatan dengan orang-orang tertentu di tingkat pusat dan Provinsi bagi Pj Kabupaten dan Kota.
Sampai hari ini, tidak banyak terdengar Pj atau Plh kepala daerah yang ditangkap atau terkena kasus. Mungkin yang baru terdengar KPK mencekal Pelaksana harian (Plh) Wali Kota Bandung Ema Sumarna agar tidak pergi ke luar negeri untuk mempermudah proses pemeriksaan dalam kasus tersebut. Dia dikait-kaitkan dengan kasus suap yang menjerat Wali Kota Bandung Yana Mulyana yang ditangkap KPK 14 April 2023.
Sebelumnya, KPK pernah mewanti-wanti Kemendagri sebelum menetapkan mengisi 272 penjabat atau Pj yang menggantikan kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024 rentan disalahgunakan. Karena, proses pengisian Pj tersebut rentan dikorupsi. Diduga bisa menjadi ajang transaksi yang rentan terjadinya praktik-praktik korupsi.
Kini, para Pj itu sudah bekerja layaknya kepala daerah hasil Pilkada. Yang pasti, Pj harus lebih hebat dari Gubernur, Wako atau Bupati hasil pilihan rakyat. Jangan sampai, Pj yang ditetapkan malah bikin amburadul daerah. Atau malah membuat program-program aneh dan menjadi polemik sampai keresahan publik.
Untuk hal itu, Kemendagri telah mengantisipasi dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 70 Tahun 2021 tentang Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Bagi Daerah Dengan Masa Jabatan Kepala Daerah Berakhir Tahun 2022, telah diamanatkan kepada Daerah yang habis masa jabatan Kepala Daerahnya tahun 2022, agar menyusun dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) 2023-2026.
Kita nikmati sajalah bagaimana para Pj kepala daerah itu bekerja. Kalau mereka memang lebih baik, apalagi lebih hebat dari yang dipilih dalam Pilkada, tentu bisa menjadi pembanding. Filsuf Amerika Erich Fromm pernah menyebut, “Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka.” Terserah saja, kepala daerah tunjukan pusat atau hasil Pilkada, yang jelas mereka harus hebat dan prorakyat. (Wartawan Utama)




















