Dia membantah kalau ada beberapa pihak yang menyatakan MK seolah-olah sengaja lambat untuk memutuskan. MK tidak mungkin memutus tanpa mendengar para pihak tidak menggunakan haknya. MK sudah berujar, maka kapan akan diputuskan ya, semua menunggu saja.
Kapan putusan MK ini sudah dibayangkan juga oleh hakim MK Arief Hidayat. Dia mengingatkan sistem Pemilu bisa diubah di waktu injury time jelang pelaksaan Pemilu. Sebagai contoh, perubahan sistem Pemilu dari tertutup menjadi terbuka pada 2008 dan dipakai 2009.
Katanya, perubahan dari tertutup menjadi terbuka itu waktunya pendek sekali. Waktu itu MK mengubahnya dalam waktu relatif pendek jelang Pemilu. Sekarang kasusnya sama, ini mau mendekati proses pemilu sudah injury time ada permohonan yang sudah lama, tapi masuk karena banyak pihak terkait masuk dalam forum judicial review ini sehingga muncul satu fenomena ada concern waktu injury time.
Yang dijelaskan hakim Arief sebenarnya lebih ekstrim lagi. Jika berubah di injury time, atau mendekati masa akan pencoblosan 14 Februari 2024, maka Pemilu akan semakin tidak asyik. Para Caleg dipastikan hanya akan berdiam diri saja, dan hanya sebagian kecil yang akan melakukan sosialisasi.
Apa yang disampaikan Saldi Isra soal kader partai yang dirugikan, Anwar Usman soal banyaknya masukan atau pendapat ahli dan kader partai lainnya, serta Arief Hidayat yang menyebut bisa injury time membuat semua akan galau. Indonesia seperti tidak pernah belajar dari apa yang telah terjadi. Sistem akan terus diubah-ubah, meski mengubahnya itu maju-mundur.
Bukan mengubah ke arah yang lebih baik demi sempurnanya demokrasi. Kita seakan terjebak untuk memastikan, apa yang terbaik untuk ini dan itu. Belum terbaik untuk semua warga Indonesia. Masih sibuk berkompromi dan bersidang soal siapa yang diuntungkan atau dirugikan. Bukan memastikan sistem yang kuat yang membuat semua bisa menerima dan berjalan dengan baik.
Yang jelas hari ini, sistem Pemilu masih membuat Bacaleg harap cemas. Meski delapan Fraksi di DPR RI mendukung berlakunya proporsional terbuka pada Pemilu 2024, tentu itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Karena yang akan menentukan pastilah keputusan MK. Yang mendukung sistem proporsional tertutup dengan pemilih hanya mencoblos lambang partai saja adalah PDI Perjuangan.
Yang menolak, berasal dari Fraksi Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Mereka bahkan membuat surat pernyataan yang beredar di media sosial beberapa hari lalu. NasDem juga turut serta menyatakan lebih mendukung sistem terbuka, meski salah satu dari orang yang menggugat UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu itu adalah Yuwono Pintadi yang disebutkan sebagai anggota Partai NasDem.
Dia bersama-sama Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel), Riyanto (warga Pekalongan) dan Nono Marijono (warga Depok) menggugat UU Pemilu ke MK dan meminta Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup.
Penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, “Apakah manusia hidup untuk sistem ataukah sistem untuk manusia? Jika manusia dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita.” Kita lihat saja, bagaimana akhir dari drama sistem terbuka dan tertutup ini. (Wartawan Utama)




















