Sebagai politisi, Irwan Fikri tak berhenti sampai di sana. Dia cukup lama malang melintang di dunia perpolitikan di Sumbar. Bahkan, sebagai orang yang lahir di Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Irwan pernah menjadi anggota DPRD Kota Padang periode 2009-2014 dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia juga menjadi ketua DPC PPP Padang waktu itu.
Karena kelihaiannya berpolitik, dari merangkul suara dan lobi, dia berjuang untuk menjadi wakil Bupati Agam yang ditinggalkan Umar karena kasus korupsi. Menang di pemilihan Wakil Bupati di DPRD Agam, Irwan Fikri dilantik Gubernur Sumbar Irwan Prayitno 8 Februari 2013. Mendampingi Bupati Indra Catri mengisi sisa masa jabatan 2012–2015.
Mungkin, benih-benih pecah kongsi ini bisa saja berasal dari sini. Bersama Indra Catri pun, Irwan disebut kurang mendapatkan kesempatan dalam pemerintahan. Tak heran, pada Pilkada 2015 dia mencoba mengalahkan Indra Catri dalam Pilkada Agam. Sayang, Irwan kalah dan harus mengubah haluan ke DPRD Sumbar 2019 dan kalah lagi.
Pernyataan mundur Irwan yang disebutnya karena kurang harmonis dengan Bupati itu mungkin tidak sepenuhnya benar. Irwan dipastikan telah didaftarkan oleh Partai Demokrat sebagai bacaleg DPRD Sumbar 2024 dari daerah pemilihan Sumbar 3 yang terdiri dari Agam dan Bukittinggi. Tempat yang sama yang dia coba 2019.
Artinya, proses mundurnya Irwan Fikri bukan mendadak, tapi sudah didiskusikan dengan partainya. Apalagi, salah satu incumbent di Dapil itu, Nofrizaon disebut-sebut pindah partai dan maju ke DPR RI. Peluang Irwan tentu lebih besar ke DPRD Sumbar, karena sudah berkeliling Agam sejak dilantik jadi Wakil Bupati. Lawan beratnya hanya Ismet, mantan Wali Kota Bukittinggi yang menjadi pemilik suara DPRD Sumbar terbanyak 2019.
Lalu apa yang terjadi setelah Irwan mundur, apakah Agam akan timpang? Mungkin saja tidak. Dari apa yang disampaikan Irwan itu tergambar bahwa selama menjadi Wali Bupati dia tidak bisa berbuat banyak. Basaha sebagai ban serap atau sejenisnya itu memang benar. Tak banyak yang bisa dibuat wakil kepala daerah, kalau kepala daerah tak memberikan mandat apa-apa. Mungkin hanya untuk menggantikan gunting pita dan sejenisnya saja, itupun kalau diberi.
Mungkin ada bagusnya kemunduran Irwan Fikri ini untuk Kabupaten Agam. Jangan sampai seperti yang terjadi di Tolitoli, Sulawesi Tengah 2018. Bupati Tolitoli M Saleh Bantilan dan wakilnya, Abdul Rahman bertengkar hebat saat pelantikan pejabat. Abdul marah-marah dengan merobek SK pelantikan dan melempar gelas. Tak terima dengan sikap Abdul, Saleh melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Tolitoli.
Sengaja diambil contoh agak jauh, karena di Sumbar peristiwa pertengkaran kepala daerah dan wakil kepala daerah baru sekadar perang dingin. Kalaupun ada ribut-ribut, belum bertemu keduanya. Paling kuat ya bertarung pada Pilkada berikut, itupun kalau kepala daerah baru satu periode. Ada yang menang, tapi banyak wakil yang kalah dan gagal naik kelas.
Apapun yang terjadi dengan AWR-Irwan atau kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lain di Sumbar, janganlah mengorbankan rakyat. Rakyat yang tiap Pemilu dan Pilkada dijanjikan ini itu, tapi saat menjabat malah pecah kongsi. Kepala daerah berbuat sesukanya, dan wakil pun demikian. Entah apa yang akan didapat masyarakat jika pemimpinnya saja “parang ladiang.” Jangankan membangun, untuk kegiatan rutin saja akan susah.
Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah berujar, “Pelajaran terpenting bagi calon pemimpin adalah kesanggupan menjadi rakyat. Barangsiapa sanggup menjadi rakyat yang baik, itulah pemimpin yang baik. Maksudnya, Sikap mental seorang pemimpin haruslah sikap mental kerakyatan.” Ini bisa jadi renungan siapa saja yang merasa layak menjadi pemimpin dan berniat maju dalam Pileg, Pilkada sampai Pilpres. (Wartawan Utama)




















