Satu keluarga yang amat identik dengan politik Sumbar adalah pasangan suami istri Emma Yohanna dan Hariadi. Emma sudah tiga periode menjadi anggota DPD RI, dan Hariadi hari ini Ketua DPW PPP Sumbar. Tahun 2019, Emma lolos ke Senayan, sementara Hariadi gagal melaju di Dapil Sumbar 2. Dia dikalahkan M Iqbal, orang Maninjau, anak kandung mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.
Hari itu, anak kandung mereka Niky Lauda Hariyona juga maju dari PPP Dapil Sumbar 1. Sayang, kursi yang ditinggalkan Epyardi Asda itu tak bisa diamankan oleh Niky. Tahun 2024, Emma, Hariadi, Niky disebut-sebut akan kembali maju dari posisi-posisi yang sama seperti Pemilu sebelumnya. Ditambah anak mereka yang lain, Erick Hariyona maju ke DPRD Sumbar dari Dapil Pasaman dan Pasaman Barat. Partainya, Golkar, karena Erick saat ini menjadi Bendahara DPD Golkar Sumbar.
Sebenarnya, tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan para politisi Sumbar itu. Apalagi, mereka tidak bisa mengatur agar anaknya terpilih atau dipastikan menduduki kursi dewan. Semua harus berjuang mendapatkan simpati rakyat yang berujung kepada suara dan terpilih. Bagaimanapun mengendorse sang anak, kalau rakyat tak memilih ya percuma. Karena, banyak yang gagal ketimbang berhasil dalam mendapatkan atau mewariskan kursi itu.
Mungkin anak-anak para anggota DPR atau mantan anggota DPR RI itu sedikit diuntungkan karena punya privilege soal basis suara, anggaran, kolega dan juga jaringan. Selain itu, mereka juga harus bekerja keras untuk memastikan suara itu benar-benar sampai ke kertas suara. Tidak sekadar halo-halo tak menentu saja, dan saat pencoblosan, tak ada suara yang sampai ke namanya.
Meski, apa yang diupayakan ini sama dengan membangun politik dinasti yang sebenarnya menjadi kesepakatan untuk diberantas saat era reformasi 1998. Saat jabatan politis lebih mudah didapat kalau punya kolega pejabat, saudara pejabat, anak pejabat dan lainnya. Yang ujung-ujungnya membuka gurita bisnis putra-putri Presiden Soeharto.
Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Namun, dengan sistem demokrasi, dinasti politik mengharuskan pelakunya memiliki modal yang besar, baik pengaruh, uang dan lainnya.
Sejatinya, dinasti politik harus dilarang oleh negara. Karena memicu kecemburuan dan ketidakadilan bagi semua masyarakat. Namun sayang, belum ada tanda-tanda aturan yang melarang dinasti politik ini. Misal, anak kandung dilarang didaftarkan di Dapil yang sama pada periode berikutnya. Harus ada “jeda” minimal satu periode Pemilu.
Kalau tidak, pastinya wakil rakyat ini akan menjadi jabatan turun temurun dari generasi ke generasi. Akan menyulitkan bagi nama-nama baru untuk maju, apalagi jika sistem Pemilu dikembalikan tertutup. Mereka yang aka ditunjuk partai, tentu mereka yang kenal, atau punya kedekatan dengan pengurus partai saja. Dinasti politik, meski ada positifnya, tetap banyak negatifnya.
Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 pernah mengatakan, “Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu.” Jadi, bagi yang tak setuju politik dinasti seperti ini terus berlanjut, maka rencanakan dengan baik bagaimaan menumbangkan para pelaku ini. Jangan pernah manut atau manggut-manggut saja dan melanggengkannya. (Wartawan Utama)




















