Hari-hari belakangan saya ogah bercermin. Lipatan-lipatan keriput di tepi mata, uban yang makin kentara bertabur di sekujur kepala, dan tubuh yang tak begitu kuat lagi menahan angin malam, begadang, dan menyesap bergelas-gelas kopi, membuat saya mafhum bahwa sesuatu yang besar tengah saya alami: menua. Tidak berapa lama lagi usia saya 40. Tinggal menghitung hari, kata Mbak Kridayanti dalam lirik lagunya.
Dua orang Imam, yaitu Imam Jalal Al-Mahalli dan As-Suyuthi, di dalam tafsir mereka, mengomentari Surah Al-Ahqaf ayat 15 dengan komentar yang mendirikan bulu ro ma: “Seseorang hidup (hingga apabila dia telah dewasa) yaitu sempurna kekuatan, logika, dan pandangannya, minimal usia 33 atau 30 tahun, (dan umurnya sampai 40 tahun) kesempurnaan usia, yaitu puncak kematangan”.
Seturut penjelasan kedua Imam tersebut, 40 tahun adalah puncak kematangan dalam berpikir, dalam keluasan pandangan, dan kematangan emosional. Secara fisik, tanda-tanda orang yang bakal menggenapi usia 40 sudah mulai terlihat pada badan-diri ini, secara mental dan kematangan, masih jauh api dari panggang.
Di antara beberapa nasehat Rasulullah SAW kepada umatnya, “Sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat (untuk akhirat) merupakan tanda bahwa Alla SWT berpaling dari hamba. Dan sesungguhnya orang yang telah kehilangan sesuatu dari umurnya untuk selain ibadah, tentu sangat layak baginya kerugian yang panjang. Dan orang umurnya lebih dari 40 tahun sementara amal kebaikannya tidak melebihi amal keburukannya maka bersiap-siaplah masuk neraka”.
Usia tidak pernah berdusta tentang segala yang fana di badan diri. Dunia bekerja dengan cara memperbarui dirinya terus menerus, dunia terus berbenah dan bersolek. Ia menciptakan ilusi pada semir penghitam rambut yang sejatinya tidak lagi hitam, pada tebal make up agar terlihat muda, pada nyala lipstik seumpama bibir ranum sempurna dari remaja usia, pada berbagai layanan kecantikan yang menangani bagaimana menghilangkan kerutan, menunda penuaan, meremajakan kulit, dan mengabadikan cantik yang benar-benar tidak pernah abadi itu.
Dan orang-orang menghidupi atau menghibur diri mereka dengan satu ilusi ke ilusi lainnya atas masalah penuaan yang tak kunjung bisa ditangkal ini. Pujian yang mana yang lebih melambungkan perasaan daripada ucapan ini: “Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda”. Atau ini: “Astaga! Anda wajah Anda makin muda dan terlihat bercahaya saja.” Padahal aslinya mungkin semengerikan kuburan tak terawat.
Mengacu ke batas usia yang telah dijelaskan Rasulullah di atas, bahwa batas usia perubahan manusia itu ialah 40. Dan masa sepanjang itu lebih dari cukup untuk memproses banyak sekali hal dalam diri. Namun, sialnya, usia biologis yang terus menanjak tidak selalu berbanding lurus dengan usia kronologis.
Di luar sana, kita akan dengan gampang bertemu seorang bocah lima tahun yang terjebak di tubuh pria 36 tahun, seorang remaja putri 16 tahun terjebak pada tubuh ibu-ibu 43 tahun, seorang anak kecil delapan tahun terjebak di tubuh bangkotan berusia 67. Artinya, usia kronologis atau usia pematangan psikologis mandeg dalam diri seseorang, sehingga, seiring bertambah umur, perspektifnya itu ke itu juga, ia makin malas dan melempem untuk belajar.
Lalu, untuk membereskan hal-hal kesemrawutan dalam diri ini, apa saja yang mesti dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan teknis seperti ini lazim ditanyakan dan dijawab sendiri oleh benak.
Namun, dari sebanyak itu kemungkinan jawabannya, kira saya salah satu jawaban paling meyakinkan adalah bercermin. Ya, sudah saatnya kita bercermin setiap pagi, setiap siang, dan malam, memperhatikan detil wajah, perawakan, dan mencermati segala detil kecil yang satu pun tidak boleh terlewatkan, sembari membatin:
“Seandainya hari ini adalah hari terakhirku, maka sudah sepatutnya kulakukan segala hal yang mesti kulakukan, kubenahi segala yang perlu kubenahi, sekuat-kuatnya, sepatut-patutnya.”
Dan untuk ini Banginda Rasul tidak absen mengingatkan kita: “Mintalah fatwa ke hatimu sendiri.” (*)
