Beberapa tahun lalu, saya menyaksikan dialog antara seorang hakim dengan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi terdakwa di sebuah ruang pengadilan tindak pidana korupsi. Terdakwa bersikeras menyatakan bahwa dia tidak bersalah, karena pada saat menandatangani dokumen utama yang jadi barang bukti dalam kasus itu, dia dipaksa oleh atasannya. Sementara hakim tetap pada keyakinannya bahwa dokumen itu sah demi hukum, karena tanda tangannya asli.
“Saudara tidak bisa menyatakan tidak bersalah karena merasa dipaksa menerbitkan dokumen itu. Saudara bertanda tangan di atasnya. Jika waktu itu Saudara sadar bahwa perbuatan itu salah, seharusnya tidak menandatangani dokumen ini. Apapun risikonya terhadap Saudara atau jabatan Saudara. Karena dokumen ini adalah persyaratan utama keluarnya uang negara. Dan inilah yang menyebabkan kerugian negara,” kata hakim sambil menunjukkan dokumen dimaksud.
Kondisi sebagaimana di alami ASN di atas sering dijumpai dalam keseharian aktivitas di kantor-kantor pemerintah. Banyak bawahan yang melakukan kesalahan fatal yang bermuara di meja hijau, hanya karena mereka tidak berani berkata tidak pada atasannya. Padahal sesungguhnya dia tahu, bahwa perbuatannya salah, bahkan melanggar hukum.
Intervensi oleh atasan kepada bawahan tersebut bisa jadi disebabkan penerapan berlebihan terhadap hubungan top-down yang kaku di struktur organisasi pemerintah. Jabatan-jabatan struktural atau juga dikenal dengan “eselon” sering diterapkan sebagai kekuasaan mutlak oleh seorang atasan kepada bawahannya. Sang atasan merasa semua kehendaknya harus diikuti. Sebaliknya, sang bawahan kerap merasa takut kinerjanya dinilai buruk oleh atasan, atau takut di mutasi ke tempat yang jauh. Ini adalah gaya kepemimpinan feodal yang masih mengakar hingga kini.
Bersifat birokratis, kaku dan hierarkis, yang diterapkan organisasi pemerintah sebagaimana ditulis Indra Bastian dalam bukunya Sistem Pengendalian Manajemen Sektor Publik (2014), tentu saja tidak selalu buruk. Karena tipe struktur seperti itu memang cocok untuk mengendalikan organisasi publik selevel pemerintah yang memiliki tugas yang kompleks.
Guna melaksanakan tugas-tugas yang bermuara kepada pelayanan publik itu diperlukan pegawai yang sangat banyak, dan tidak semuanya bisa menjadi penanggung jawab. Maka diperlukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab terhadap hasil kerja unit masing-masing. Itulah yang dibebankan kepada pejabat eselon yang selama ini memiliki struktur bertingkat-tingkat mulai dari Eselon I, II, III, IV tersebut. Masing-masing bertanggung jawab sebatas tingkatan strukturalnya.
Pun demikian, dampak buruk seperti dicontohkan di atas masih terus terjadi. Banyak pejabat yang memanfaatkan kedudukannya untuk mengintervensi bawahan ke arah yang salah. Bahkan ini sering disertai dengan ancaman-ancaman mutasi dan lainnya. Hubungan atasan-bawahan seperti itu tentu tidak sehat dalam pengelolaan organisasi publik.
Akan banyak pegawai yang fokus kerjanya hanya memenuhi keinginan atasannya, sehingga melupakan fungsi utama mereka sebagai civil servant (pelayan masyarakat). Mereka jadi punya penyakit cenderung takut jabatannya dicopot, bila berani membantah atasan.
//Birokrasi Bertingkat, Kerja Lambat//
Di samping itu, tentu saja jalur birokrasi yang bertingkat-tingkat sebagaimana adanya sekarang telah membuat pekerjaan administrasi menjadi lambat. Terlalu banyak unit struktur yang harus dilewati untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, walaupun itu hanya untuk menanggapi selembar surat masuk yang sebetulnya tak begitu penting.
Kondisi organisasi yang “sakit” itu sepertinya yang membuat Presiden Joko Widodo gerah, dan memerintahkan anak buahnya memangkas birokrasi. Ini bahkan sudah dia ditegaskan sejak menyampaikan pidato pelantikan, Oktober tahun lalu.
Menindaklanjuti titah presiden tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo bahkan segera menjadikan kementerian yang dipimpinnya sebagai contoh. Tidak tanggung-tanggung, nyaris semua jabatan eselon III dan IV di instansi itu dihilangkan. Sebagaimana diberitakan Kompas (16/12/2019), bahwa dari 63 eselon III, sekarang hanya tersisa satu. Sementara untuk eselon IV, semula jumlahnya ada 96, dipangkas menjadi dua. Setelah strukturalnya hilang, para ASN itu kemudian dialihkan menjadi tenaga fungsional sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
Sukses memangkas birokrasi di kementeriannya, sejak awal tahun ini mantan Menteri Dalam Negeri itu pun kian gencar menyosialisasikan dan mengirim surat edaran ke kementerian/lembaga lain agar segera mengikuti langkahnya. Dia berpegang teguh kepada perintah presiden, bahwa struktur birokrasi pemerintah harusnya hanya dua tingkat, supaya pelayanan dan pengambilan keputusan dapat lebih cepat.
//Pejabat Eselon Terbiasa Enak//
Terkait program berlabel “Segera” ini, saya termasuk yang sangat mendukung. Namun, saya pikir akan banyak pejabat yang kelabakan, meskipun tentu saja tak semuanya begitu. Ini terutama bagi mereka yang selama ini keenakan duduk di kursi empuk jabatannya, hingga sering “tertidur”. Bagi ASN yang ongkang-ongkang kaki saja selama menjabat, karena hampir seluruh pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya telah diselesaikan dengan rapi oleh para pelaksana alias staf yang berada di bawahnya. Sang pejabat cukup membubuhkan tanda tangan atau memaraf dokumen, lalu kembali tidur.
Maksudnya mereka kebanyakan tidak sempat meng-upgrade ilmu dan keahlian di bidang tugasnya. Padahal, di zaman teknologi yang serba cepat ini, segala sesuatu mudah sekali berubah, secepat berubahnya sebuah aplikasi di smartphone. Banyak aplikasi yang kemarin belum ada, sekarang bahkan sudah membutuhkan update yang ke sekian.
Dan hari ini, perubahan cepat itu telah datang. Para pejabat eselon yang terbiasa enak karena kerjanya cuma main perintah, sekarang bakal disuruh kerja. Ya, saat dialihkan menjadi pejabat fungsional artinya “harus kerja”, kalau tak ingin jabatan itu nanti hilang secara otomatis karena tidak bisa mencapai angka kredit sesuai target.
Yang paling menakutkan bagi mereka adalah ketika jadi pejabat fungsional mereka harus siap menjadi pekerja mandiri. Artinya tidak lagi punya anak buah yang menolong mereka selama ini. Jika sebelumnya sebuah kinerja unit ditentukan oleh hasil usaha tim, sekarang berubah menjadi hasil kerja individu. Maka, yang mau kerja keras dan terus belajarlah yang akan maju. Sementara yang malas akan jauh tertinggal, menunggu-nunggu pensiun saja.
//Melibas Intervensi//
Kabar baiknya, kondisi yang penuh intervensi sebagaimana digambarkan dalam paragraf-paragraf awal tulisan ini, bisa jadi akan berkurang. Jika ASN yang kehilangan jabatan struktural ini segera ahli dalam bidang fungsionalnya masing-masing, maka yang terjadi adalah akan banyaknya diskusi dan perdebatan. Tidak lagi didominasi perintah dan kekuasaan mutlak. Demi kelangsungan karir mereka, para fungsional akan berupaya secara profesional melaksanakan pekerjaan. Penilaian kinerja sekarang akan bertukar dari “menyenangkan atasan” menjadi “bekerja secara benar” sesuai standar yang telah ditetapkan.
Karena angka kredit hanya dapat diperoleh bila sebuah pekerjaan dilaksanakan sesuai prosedurnya. Apalagi, yang menilai angka kredit tidak hanya atasan di tempat kerja, melainkan pihak dari luar (kementerian yang membinanya). Dan yang utama, mereka semua bertanggung jawab sendiri-sendiri, tidak secara kolektif.
Kita tentu berharap, program yang disebut Presiden sebagai penyederhanaan birokrasi ini memang bertujuan baik, demi peningkatan kinerja pelayanan kantor pemerintah. Baik itu berupa percepatan pelayanan administrasi maupun untuk melibas tidak sehatnya intervensi. (*)
