Oleh : dr. Indah Gustari (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas)
Pengambilan keputusan terhadap tindakan yang akan dilakukan kepada pasien, terutama pasien dengan kondisi yang buruk ataupun kondisi terminal, masih menjadi dilema serta pro dan kontra antara tetap mempertahankan kelanjutan hidup si pasien dengan alat penopang atau terminasi (mengakhiri pengobatan dan tindakan). Demikian juga halnya dengan DNR (Do Not Resusitate). Untuk beberapa kalangan istilah DNR tidak terlalu dipahami. Disini dapat dijelaskan bahwa DNR adalah pesan kepada tenaga kesehatan atau masyarakat umum untuk tidak berusaha melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa RJP (Resusitasi Jantung Paru), perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi dengan persetujuan dokter yang bertanggung jawab (tim medis). DNR dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan status kesehatan pasien dan biaya perawatan.
Termasuk di Indonesia sendiri, pengambilan keputusan untuk DNR masih sangat menimbulkan pro dan kotra, dikarenakan hal ini sangat berkaitan dengan etika dan hukum, adat istiadat keagamaan serta sosial budaya masyarakatnya. Hal ini menimbulkan dilema para tenaga medis yakni dokter yang merawat pasien dalam mengambil keputusan terhadap tindakan selanjutnya kepada pasien. Perintah DNR ini biasa dibuat dalam keadaan belum sakit atau sadar penuh, untuk mengantisipasi suatu saat dia berada dalam kondisi kegawatdaruratan. Di Negara barat Do Not Resucitate (DNR) dianggap sebagai pseudo-euthanasia dikenal dengan istilah Againts Medical Advice, yakni pasien menolak rekomendasi tenaga kesehatan mengenai rencana perawatan terhadap dirinya. Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis namun ada benturan terhadap hak pasien untuk menolak tindakan medis.
Walaupun dalam organiasi kedokteran di Indonesia yakni IDI sudah mengeluarkan fatwa yang membolehkan dokter untuk mengambil keputusan end-of-life decision,termasuk didalamnya tindakan DNR, akan tetapi masih sedikit sekali dokter yang mau mengambil keputusan tersebut. Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan seorang dokter terhadap pasien yang berada dalam kondisi tanpa harapan hidup atau tipis kemungkinan untuk pulih yakni with-holding atau with drawing life support, yaitu penundaan atau penghentian alat bantuan hidup. Pada tahun 1990, Ikatan Dokter Indonesia juga mengeluarkan pernyataan bahwa manusia dinyatakan meninggal apabila sudah dinyatakan mati batang otak. Konsep ini berdasarkan bahwa apabila seseorang sudah mati batang otak maka jantung dan parunya tidak dapat bergerak tanpa batuan alat-alat penopang, karena batang otak merupakan pusat penggerak organ pernafasan dan jantung. Walaupun prinsip ini memberi kekuatan dalam mengambil tindakan dan keputusan, tenaga medis masih berfikir jauh untuk mengambil tindakan ini, karana di Indonesia terdapat Undang-Undang yang mengikat dan menjelaskan bahwa tindakan tersebut termasuk kepada tindakan pidana.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa tindakan DNR (Do Not Resusitate) ini sangat berkaitan dengan hukum dan etika. Dari aspek hukum tindakan DNR (dalam hal ini dianggap sebagai pseudo-euthanasia) tidak diperbolehkan dan melanggar pidana, terlihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa yang di beberapa pasalnya menyebutkan bahwa euthanasia termasuk kejahatan dan mendapat tuntutan hukum. Didalam Undang-Undang tersebut lebih menitik beratkan bahwa dokter adalah pelaku utama euthanasia, terutama euthanasia aktif. Disini dinggap bahwa tindakan tersebut adalah suatu pembunuhan berencana atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Hal ini memperlihatkan bahwa dari aspek hukum dokter selalu berada dipihak yang dipersalahkan tanpa melihat latar belakang dari pengambilan tindakan tersebut. Sering kali tidak dilihat dari sisi lain, bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan pasien itu sendiri ataupun permintaan dari keluarga, untuk mengurangi penderitaan pasien yang dalam keadaan sekarat ataupun sakit yg amat berat dimana penyakitnya belum diketahui pengobatannya. Namun terdapat pengecualian pada pasal 344 yaitu, (1) bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya, (2) usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi, (3) pasien dalam keadaan in a persistent vegetative slate, (4) harus ada persetujuan dari pasien atau keluarga, (5) mendapat persetujuan dari pengadilan.
Dari segi etika, tindakan DNR sangat erat kaitan dengan resusitasi jantung paru (RJP). Melakukan tindakan resusitasi jantung dan paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan teknis namun juga harus mempertimbangkan asas manfaat (benefience), prinsip do no harm (nonmalefience), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi pasien (autonomy). Sebagaimana telah disebutkan, pengkajian ini melibatkan apakah tindakan RJP tersebut harus melihat bahwa apakah tindakan tersebut memiliki manfaat atau malah memperberat kondisi si pasien. Disisi lain hak otonomi pasien dalam memutuskan hal apa yang akan dilakukan terhadap dirinnya harus dihargai secara etika bahkan secara legal. Dalam hal keputusan ini pasien harus benar-benar dalam kondisi stabil, sadar dan cukup dewasa dalam memberikan keputusan tersebut. Catatan penting dalam kondisi ini adalah, sebelum mengambil keputusan pasien harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokternya. Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun akibat obat-obatan atau penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi semula sampai pasien mampu memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi gawat darurat sebelum pasien belum mengambil keputusan dengan waktu yang terbatas untuk mengambil keputusan, pilihan yang bijaksana adalah memberikan perawatan medis sesuai standar. Selain itu, harus memperhatikan prinsip keadilan. Prinsip keadilan menjamin semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi nilai moral akan menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang paling baik.
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa tindakan DNR, tidak dilegalkan secara hukum pidana, akan tetapi terdapat pengecualian pada kondisi tertentu, yakni tindakan tersebut diambil ketika tindakan resusitasi tidak memungkinkkan atau malah memperparah/memperburuk kondisi pasien. Atau memang merupakan keputusan dari pasien sendiri maupun keluarga dengan pertimbangan bahwa DNR adalah keputusan yang tepat, tentunya keputusan tersebut diambil setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dari dokter. Mengingat semua hal yang berkaitan dengan etika dan hukum, dalam pengambilan keputusan sangat dibutuhkan adanya pernyataan dari pasien sendiri atau keluarga pasien tentang tindakan DNR ini. Pernyataan harus tercantum didalam informed consent. Sehingga, apabila tenaga kesehatan melakukan tindakan DNR (Do Not Resucitate) tidak menyalahi aturan.(**)


















