PADANG, METRO–Hadirnya sejumlah instalasi unik hasil karya seniman Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) pada Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) tahun ini, menjadi magnet bagi masyarakat untuk mengunjungi lokasi PKD di Taman Budaya. Karya Instalasi pengembangan dari tekhnik assemblasi pada seni patung. Pengembangannya terletak pada pemaduan kreativitas medium, tekhnik hingga masuk ke ranah lighting, gerakan (kinetis), video, tekhnologi multimedia hingga merespon bentuk alam (Susanto, 2012).
Kehadiran pameran seni instalasi ini, idealnya mampu memberikan edukasi serta pemahaman, dan dapat menggeser paradigma praktik kesenian yang belum berjalan seimbang.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar, Gemala Ranti, mengungkapkan pada penyelenggaraan PKD tahun ini, ada tujuh instalasi yang disepakati untuk dipamerkan di luar ruang Taman Budaya. Tujuh instalasi tersebut, yakni, karya Dedi Purwanto dengan tema “Yang Tergantikan, Karya Eriyanti Chan (Saruang), Erlangga (Times is Life), Kapten Moed (Track Record), Rizky Dwi Eka Putra (Adat Dipakai Baru, Jikok Kain Dipakai Usang), Sastra Hadi Kusuma (Alam dan Strategi) dan Afrizal Jasmann (Manyalo Lamak).
Kehadiran instalasi karya seni ini mengundang pertanyaan bagi pengunjung yang hadir. Terutama, tentang makna dan pesan dari instalasi. Bahkan, dengan hadirnya instalasi dengan permainan cahaya lampu yang terkesan seram itu, tidak jarang ada pengunjung yang mengaitkan dengan hal mistis.
“Itu kain sarung dipajang bentuknya seperti buaian kemudian diterangi dengan lampu. Kesannya kok angker gitu. Kayak ada mistis-mistisnya. Boleh gak tu dalam agama,” ungkap Dela, salah seorang pengunjung malam itu.
Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, pengunjung yang datang ke PKD ini, juga dapat mengikuti Diskusi Seni (Tour Curatorial) yang membahas tentang topik seni instalasi, Senin sore (4/10) di Galeri Taman Budaya Sumbar. Bagaimana makna dari setiap karya instalasi yang dipamerkan tersebut. Melalui buku PKD yang berjudul “Festival Merawat Ingatan”, berikut disampaikan ulasannya.
Instalasi dengan tema Manyalo Lamak, karya Afrizal Jasmann memperlihatkan salah satu ke-khasan tradisi memasak di Minangkabau. Proses memasak di Minangkabau memiliki nilai-nilai filosofi. Pada instalasi yang dipamerkan, terlihat tiga struktur vertikal yang masing-masingnya terpisah. Yakni, lantai, konstruksi segitiga dan bejana pada bagian atas.
Sementara, ketika dilihat jauh, keutuhan seluruh konstruksi tampak sebagai manifestasi symbol yang saling terkait satu sama lain. Hal ini mengandung makna keberagaman masakan Minang yang hadir pada setiap prosesi adat. Ini menandakan demokrasi di tataran paling sederhana. Yakni siapa saja berhak untuk memilih makanan sesuai selera.
Instalasi Manyalo Lamak berbentuk menara serupa tabung dengan diameter dasar seluas tiga meter. Tinggi konstruksi lima meter. Sejumlah bagian akan diberi sisi antar kerangka dengan menggunakan stereofoam, plastik dan broacade.
Pada bagian lantai diisi dengan stereofam mirip bumbu-bumbu. Pewarnaan pada tiap bagian didukung oleh pencahayaan. Pada bagian atas digantung sejumlah kantong dengan bumbu asli di dalamnya. Ketika basah mengeluarkan aroma wangi bumbu khas dapur orang Minang.
Selanjutnya, instalasi bertema “Saruang” atau sarung, karya Erianto Chan. Instalasi ini berupa sarung yang dipasang seperti berfungsi sebagai buaian untuk balita, yang digantung dengan ditopang dengan tiga tiang yang terbuat dari bambu, kayu dan besi.
Instalasi ini memiliki makna eksistensi kain sarung yang digunakan oleh kaum laki-laki, untuk bekerja, bepergian, acara adat berkesenian dan sebagainya.
Pada bagian atas sarung yang tergantung tersebut terdapat cermin. Hal ini memaknai rekam jejak dari fungsi sarung dalam setiap peristiwa dan menghadapi pengaruh-pengaruh yang menerpa eksistensinya.
Berikutnya, instalasi karya, Rizky Dwi Eka Putra dengan tema “Adat Dipakai Baru, Jikok Kain Dipakai Usang”. Instalasi ini merefleksikan sebuah perenungan. Karya ini disusun dari perakitan berbagai elemen yang menjadi satu kesatuan. Berpijak dari persoalan adat, seniman melihat ke arah perspektif pergaulan yang terjadi saat ini. Posisi adat dianggap mendapat tempat yang jauh dari kehidupan sosial.
Konsep pemikiran ini, divisualkan dengan terdapatnya tiga figur besi menyerupai manusia dengan lilitan kain putih di tubuhnya. Namun, hanya terdapat satu figure yang berusaha menahan dinding reruntuhan yang dihadirkan. Di sisi lain terdapat carano yang merupakan elemen adat yang menyimbolkan sesuatu yang harus dilindungi.
Kemudian juga ada karya Kapten Moed dengan tema “Track Record”. Bagi pengunjung awam, sangat gampang menilai karya instalasi ini memiliki makna tentang kisah Malin Kundang yang melegenda. Karena instalasi yang dihadirkan mirip kapal yang di dalamnya terdapat patung dari rotan yang dibuat mirip seperti manusia. Bahkan ada yang mirip posisi Malin Kundang yang saat dikutuk jadi batu sedang dalam posisi bersujud.
Namun, bukan demikian makna dari instalasi ini. Karya ini terbuat dari batangan rotan yang dirangkai dan dirakit menyerupai beberapa figur manusia, yang maknanya bergerak secara bertahap sedang membawa sesuatu beban di pundak dan menggenggam sesuatu di tangannya. Figur ini perlahan sujud dan melebur menyatu dalam menara rotan yang menjulang tinggi.
Di sisi tingkatan menara tersebut terdapat barisan limbah yang menyerupai rumah tradisi yang kemudian bertransformasi menjadi gedung perkotaan. Karya ini menyinggung persoalan peradaban dan kebudayaan global yang telah membuat jarak manusia dengan alam.
Hubungan ini kemudian saling menghancurkan dan berdampak pada produksi limbah dan kerusakan lingkungan. Karya ini mengajak pengunjung yang menyaksikan untuk kembali melihat jejak masa lalu. Di mana kebudayaan yang diciptakan oleh pola hidup manusia selaras dengan alam dan saling menjaga keseimbangan hidup erta tidak melupakan jati dirinya.
Masih ada karya instalasi yang terpajang di PKD yang perlu dipahami maknanya. Namun, cukup panjang narasi untuk menjelaskannya. Ingin tahu informasi lebih banyak tentang karya instalasi ini. Silahkan saja kunjungi PKD.(fan)
















