PADANG, METRO–Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumbar mencatat, ada empat bencana besar yang pernah terjadi di provinsi.
Kepala Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehab Rekon) BPBD Provinsi Sumbar, Suryadi Eviyontri mengatakan, empat gempa berskala besar tersebut yakni, gempa pada Maret, September tahun 2007. Untuk dua gempa ini, upaya rehab rekon yang dilakukan khusus rumah-rumah warga yang rusak.
Sementara gempa besar lainnya, September 2009, rehab rekon yang dilaksanakan ada tiga, yakni rumah warga, infrastruktur jalan dan gedung yang rusak.
Terakhir, gempa yang terjadi Oktober 2010. Rehab-rekon yang dilaksanakan juga khusus perumahan. ”Empat kejadian bencana gempa besar itu harus tetap diingat dan dikenang, supaya kita waspada bahwa kita hidup di daerah bencana,” ungkap Suryadi, saat membuka Bimbingan Teknis Hitungan Cepat Pengkajian Kebutuhan Pascabencana (Jitu Pasna) Provinsi Sumbar, Kamis (9/9) di Kota Padang.
Tidak hanya ancaman gempa dan tsunami, juga banyak ancaman bencana lainnya di Sumbar, seperti banjir, puting beliung longsor, abrasi, banjir bandang.
Sebagai daerah rawan bencana, aparatur pemerintahan dan stakeholder harus bertindak cepat, tepat efektif dan efisien tidak hanya sewaktu terjadi bencana, tetapi juga saat pemulihan. Karena itu diperlukan SDM yang terampil dan cekatan dalam menangani pascabencana. Salah satunya Jitu Pasna.
Pemprov Sumbar saat ini mengembangkan Jitu Pasna yang lebih besar. BPBD Provinsi Sumbar, ungkap Suryadi telah melaksanakan Bimbingan Teknis Jitu Pasna terhadap aparatur desa, lurah, nagari, jurnalis, tagana dan relawan sejak 2016 lalu.
“Pemerintah terendah yakni desa lurah dan nagari memiliki fungsi penanggulangan bencana. Hingga sekarang Jitu Pasna telah menyentuh seluruh pihak. Sudah angkatan ke-42. Melibatkan 960 lebih desa nagari dan lurah di Sumbar. Jitu Pasna bukan tim evakuasi. Tapi terkait sumber data bencana,” tegasnya.
Suryadi menambahkan, Jitu Pasna sangat penting. Karena jangan sampai aparatur negara yang ditunjuk sebagai PPK dan KPA mengurus korban bencana, tetapi justru terseret ke ranah hukum. Hal ini terjadi karena tidak adanya keakurasian data dimulai dari awal terjadinya bencana.
“Banyak yang terseret ke ranah hukum terkait data yang tidak akurat dan tumpah tindih. Begitulah beratnnya ancaman terhadap tenaga fasilitator dan petugas lainnya di lapangan dalam menghimpun data. Mereka diancam oleh masyarakat dan pejabat untuk memasukan data korban bencana,” ungkapnya.
Karena itu, pengkajian data kebutuhan pascabencana harus tersimpan dengan baik agar dapat mengelola bencana dengan baik. “Dengan adanya Jitu Pasna mereka tahu siapa yang layak dapat bantuan,” ungkapnya.
Sementara, Kepala Sub Bidang Rekonstruksi BPBD Provinsi Sumbar, Muliarson mengatakan, peserta Bimbingan Teknis Jitu Pasna kali ini yang dilaksanakan selama empat hari merupakan angkatan ke-3. Terdiri dari perangkat desa, nagari dan kelurahan pemerintahan kabupaten kota, jurnalistik dan relawan penanggulangan bencana.
Bimbingan Teknis Jitu Pasna guna mendukung proses rehab-rekon terkait pelaksanaan dan prosedur menghitung kerugian dan kerusakan dampak bencana alam bagi aparatur di daerah. Narasumber yang dihadirkan dari Pusdiklat BNPB, praktisi penganggulangan bencana, lembaga konsultan NCS, dan BPBD Provinsi Sumbar. (fan)




















