”Jika sehari mendapat Rp100 ribu, hari ini pendapatan bisa Rp300 ribu dalam beberapa jam saja. Tapi, ketika bawa motor, kami tidak menggunakan atribut rompi, atau helm,” kata AL.
Sementara, Fika (32), karyawan swasta mengaku, sangat terbantu dengan Go-Jek sebagai alat transportasi alternatif. Selain biaya yang murah, Fika juga cepat sampai ke kantor karena terhindar kemacetan.
”Sebelum berangkat kantor harus mengurus anak-anak ke sekolah. Dengan ada Go-Jek saya terbantu, perjalanan cepat, biaya murah,” sebut Fika.
Melanggar
Ketua DPC Organda Bukittinggi Syafirzal A, menjelaskan protes yang dilayangkan pengendara angkot karena kehadiran Go-Jek berdampak buruk pada penghasilan sopir dan kusir bendi di Bukittinggi. Selama ini Bukittinggi penuh dengan angkutan umum sebagai alat transportasi.
”Ada 23 trayek sudah dipenuhi dengan 536 angkutan umum. Selain itu, secara mendasar Go-Jek menggunakan sepeda motor. Menurut Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang angkutan jalan, sepeda motor tidak termasuk angkutan umum. Untuk itu, kami meminta Go-Jek dibubarkan dan kantor mereka di kawasan Bypass harus ditutup,” tegasnya.
Sementara itu, usia berdemo sopir angkot langsung beraudiensi dengan pimpinan anggota DPRD. Ketua DPRD Bukittinggi Beny Yusrial, menjelaskan DPRD siap menampung aspirasi sopir angkot. ”Apapun bentuk aspirasi akan kami terima dan diteruskan kepada pemerintah daerah. Informasi sementara surat resmi dari Go-Jek untuk beroperasi di Bukittinggi belum diproses. Namun, akan ada pembicaraan dalam waktu dengan pihak perusahaan Go-jek mengenai permasalahan ini,” jelasnya.
Dari pertemuan tersebut, DPRD meminta para sopir angkutan umum untuk dapat kembali beroperasi, agar transportasi masyarakat tidak lumpuh. Karena aksi mogok angkutan berpengaruh kepada akses transportasi warga. (cr8)














