Oleh : Rinaldi
Perlindungan hukum terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana sering kali bersifat represif. Proses peradilan pidana anak, sering kehilangan esensinya sebagai upaya yang berakhir melindungi anak. Proses peradilan pidana anak sering kali berorentasi pada penegakan hukum secara formal, dan tidak berorientasi pada kepentingan anak. Penegakan hukum yang berorientasi pada kepentingan anak tersebut, muncullah UU No 11 /2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), menggantikan UU yang sebelumya telah ada yaitu UU No 3 /1971.
UU No 11/2012 lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak guna tumbuh-kembang anak di masa datang. Ada pasal yang mengatur pencapaian perdamaian di luar peradilan, yakni diversi. Diversi muncul dengan tujuan salah satunya, menghindarkan anak dari stigma jahat yang melekat pada dirinya jika perkaranya sampai diproses di tingkat pengadilan.
Proses diversi dapat dilaksanakan mulai dari tingkat penyidikan (kepolisian), kejaksaan, maupun tingkat pengadilan. Di samping menghindari stigma negatif tersebut, juga pengalihan proses peradilan formal yang ada. Sebab, proses penjatuhan pidana pada anak diyakini bukan solusi terbaik dalam penyelesaian tindak pidana yang dilakukannya.
Diversi penting diperhatikan dalam penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak. Dengan diversi, perlindungan atas hak-hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum (ABH) tersebut, dapat lebih terjamin. Yang dimaksud ABH di dalam UU No 11 tahun 2012 adalah; seseorang yang telah berumur 12 tahun tapi belum mencapai 18 tahun. Undang-undang ini telah diatur khusus mengenai diversidan keadilan restoratif dalam menyelesaikan perkara anak—yang tentunya agar hak-hak anak dalam hal ini lebih terlindungi dan terjamin.
Diversi pada Tahap Penyidikan
Kepolisian merupakan garda pertama dari pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, dan merupakan pihak pertama yang menentukan posisi si anak yang bermasalah dengan hukum. Nah, dalam Undang-Undang SPPA pada Pasal 7 dinyatakan bahwa penyidik wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah penyidikan dimulai.
Proses diversi paling lama dilaksanakan 30 hari setelah dimulainya diversi. Selanjutnya dalam hal diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara hasil diversi pada Ketua Pengadilan Negeri, untuk dibuatkan penetapannya. Jika diversi gagal diupayakan, maka penyidik wajib melimpahkan perkaranya pada penuntut umum (JPU) dengan melampirkan berita cara diversi.
Diversi pada Tahap Penuntutan
Sebagai prinsip Welfare Approach (pendekatan kesejahteraan) dalam penanganan Juville Delinguency, dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang SPPA, Jaksa sebagai penuntut umum secara jelas juga mempunyai hak melakukan diversi. Penuntut umum juga wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik, dan diversi dilaksanakan paling lama 30 hari.
Diversi melalui pendekatan restorative justice adalah suatu penyelesaiann perkara anak secara adil. Terlihat bahwa upaya perlindungan anak melalui diversi, wajib diupayakan pada setiap tahap sistem peradilan pidana anak. Namun, tidak semua perkara tindak pidana yang dilakukan anak, wajib diupayakan diversi-nya. Diversi hanya bisa dilaksanakan apabila tindakan pidana yang dilakukan anak ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dalam setiap tahap diversi harus mempertimbangkan:
a. Katagori tindak pidana
b. Umur anak
c. Hasil penelitian kemasyarakatan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan.
d. Dukungan dari keluarga dan lingkungan masyarakat. Dan juga jika perkara tersebut menpunyai korban, maka wajib mendapatkan persetujuan dari korban.
Apabila perkara tersebut tidak terdapat korban, diversi dapat dilaksanakan apabila:
a. Tindak pidana berupa pelanggaran
b. Tindak pidana ringan
c. Tindak pidana tanpa korban atau kerugian korban tidak melebih dari nilai upahminimum provinsi setempat.
Maka dengan adanya Undang-undang SPPA ini, perlindungan hukum bagi anak melalui diversi, dipandang sebagai model penyelesaian perkara anak yang terbaik.
Adanya Undang-undang ini, maka mainset dari sistem peradilan pidana anak harus diubah. Selama ini peradilan pidana anak seakan-akan mengadili anak yang bermasalah dengan hukum sebagai kriminal dan harus dipenjara. Tidak sedikit juga yang beranggapan setiap pelaku kriminal, harus dipenjara.
Peradilan pidana anak yang ideal bagi anak adalah:
1. Sistem peradilan pidana anak harus terpisah atau tidak tergabung dengan peradilan umum.
2. Pertimbangan-pertimbangan dalam peradilan anak harus memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya, moral, dll.
3. Meningkatkan wawasan serta kualitas dari aparat penegak hukum agar dapat menjamin terwujudnya perlindungan anak.
4. Tidak mencari pembenaran penjatuhan hukuman tapi mencari alternatif penyelesaian perkara yakni Diversi dan Restoratif Justice.
5. Penjatuhan hukuman bagi anak diarahkan sebagai pembelajaran, bukan atas balas dendam serta penyiksaan serta penjatuhan pidana bagi anak sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam segala tahapan sistem peradilan pidana anak. (PK Muda Pada Bapas Kelas I Padang)