PADANG, METRO
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar hingga saat ini belum menerima laporan kasus dugaan penyelewangan anggaran dan bantuan sosial penanganan virus korona Covid-19. Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar menegaskan, meski belum ada laporan kasus dugaan penyelewangan anggaran dan bantuan sosial penanganan virus korona Covid-19, namun pihaknya terus melakukan pemantauan penyaluran anggaran dan bantuan sosial tersebut.
“ Kita wajib melakukan pemantauan, agar uang rakyat yang digunakan untuk wabah pandemi Covid-19 ini bisa disalurkan secara efisien dan akuntabel, serta tidak terjadi praktik baru tindak pidana korupsi.” Kata Amran, Rabu (22/4). Mantan Kordinator Pidum Kejagung RI itu menambahkan, Sejauh ini setelah di cek oleh jajaran di lapangan, belum ada laporan yang masuk. Lagi pula proses kegiatan masih berjalan. Laporan ini biasanya muncul nanti saat penanganan wabah Covid-19 ini sudah selesai,” ungkap Amran
Kajati mengungkapkan, jajaran Kejati Sumbar dan Kajari masing-masing daerah di Sumbar akan proaktif untuk melakukan pemantauan penyaluran anggaran dan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak secara ekonomi akibat Covid-19. “Akan tetap kami pantau terus. Kami dari kejaksaan akan proaktif, diminta atau tidak diminta, kami akan proaktif memonitor itu, karena kami harus mengamankan uang rakyat,” tegasnya.
Orang nomor satu di Korps Adhayaksa Sumbar itu, kembali mengingatkan pemerintah daerah, agar dalam penggunaan anggaran, terutama dalam pembelian alat kesehatan, bantuan sosial, atau kegiatan lain yang masih menyangkut Covid-19, harus benar-benar dilakukan sesuai ketentuan.
“Makanya selalu saya tawarkan pendampingan. Pendampingann itu selalu diikuti kejaksaan, LKPP, BPKP, kemudian APIP. Dengan banyak yang mengawasi, sehingga tidak memungkinkan atau hampir kecil kemungkinan untuk melakukan penyimpangan,” terangnya.
Ia menyampaikan pihaknya telah berkoordinasi dengan BPKP dan LKPP. Hasilnya, dalam kondisi wabah pandemi Covid-19 ini, yang mungkin akan ‘dimainkan’ dalam pengadaan alat kesehatan itu, penggunaan istilah “harga wajar”. “Karena kalau harga HPS (harga perkiraan sendiri, red) kan tidak mungkin, itu kan berlaku pada ketentuan saat normal.
Nah, harga wajar itu harus disimak, wajar yang bagaimana. Nah, harus ada upaya-upaya dari pemerintah daerah atau gugus tugas itu berkoordinasi dengan antar-gugus tugas dalam satu provinsi atau pun dengan kabupaten kota, menginformasikan umpamanya beli masker dimana yang lebih murah, yang wajar itu bagaimana,” bebernya.
“Sebab kondisi wajar saat sekarang bisa aja mahal dari harga normal tapi yang dimenangkan itu orang yang bisa menyediakan jumlah kebutuhan itu dalam waktu cepat. Dalam kondisi ekonomi terdampak Covid-19 saat ini, barang yang terbatas sementara permintaan banyak, itu mau tidak mau akan terjadi lonjakan harga dan permainan harga,” ungkapnya.
Disisi lain, Mantan Kepala Pusat Diklat (Kapusdiklat) Manajemen dan Kepimpinan Badan Diklat Kejagung RI mengingatkan jangan sampai dalam kondisi wabah pandemi Covid-19 saat ini, pemakaian istilah “harga wajar” nanti dimanfaatkan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini. “ Jangan sampai pengadaan alat kesehatan dan distribusi bantuan sosial tidak sesuai ketentuan dan tidak tepat sasaran. Sebagaimana banyak kasus serupa belakangan ini, dimana penyaluran bantuan hanya sampai kepada sanak keluarga atau kepada orang-orang tertentu, bukan kepada orang yang berhak dan wajib menerima.
Misalnya pengadaan alat kesehatan, jangan sampai nanti ada proyek pengadaan masker atau alat kesehatan lainnya, disuruh keluarganya untuk menyediakan masker. Itu bisa berkemungkinan terjadi karena tidak pakai sistem lelang dan e-katalog. Atau pembagian distribusi bantuan sosial, yang tidak sampai ke sasaran. Jangan sampai itu kami temukan,” sebutnya. (cr1)