PADANG, METRO
Meningkatnya kasus terdempernya kereta api dengan kendaraan lain yang menimbulkan korban nyawa, membuat Anggota DPD RI asal Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), Emma Yohanna melakukan kunjungan kerja (kunker) ke PT. KAI Divre II Sumbar, Selasa, (10/3).
Emma Yohanna menyambangi PT. KAI Divre II Sumbar ingin melihat langsung pengawasan yang dilakukan perusahaan BUMN itu, atas pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan.
Dalam kunjungan tersebut Emma Yohana disambut langsung oleh Asisten Manager Program Prasarana PT KAI Divre II Sumbar, Yudi Wahyudi.
Emma Yohana mempertanyakan, apakah masih relevankah UU tersebut diterapkan pada saat ini. “Undang-undang Nomor 38 tersebut seharusnya dapat dilaksanakan dengan maksimal, tentang infrastruktur jalan dan koordinasi. Tetapi, dilapangan belum terjadi sinergitas jalan umum dengan jalur kereta api yang mengakibatkan kecelakaan, baik pejalan kaki, roda dua, dan roda empat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Emma Yohanna juga bertanya bagaimana pengawasan PT KAI untuk meminimalisasi kecelakaan dan koordinasi yang dilakukan dengan instasi terkait, baik dengan pemerintah. “Bagaimana pengawasan dan koordinasi dari PT. KAI dengan pemerintah. Apakah PT. KAI berkoordinasi dengan pemerintah setempat. Jika terjadi pembiaran, maka akan sering terjadi kecelakaan,” tegasnya.
Emma Yohanna juga mempertanyakan siapa penanggungjawab dalam membuka perlintasan sebidang berpintu ketika kereta api lewat. “Perlintasan sebidang berpintu, kadang terlambat dalam menurunkan pintunya, dan ini menimbulkan keterkejutan bagi pengguna jalan, siapa yang bertanggung jawab?. Jika terjadi terdempernya masyarakat dengan masyarakat, siapa yang bertanggung jawab? Jika di bawa ke ranah hukum tentang kecelakaan yang terjadi, siapa yang bertanggung jawab jika ada masyakarat yang terdemper oleh kereta api?” tanyanya.
Menjawab pertanyaan Emma Yohanna, Asisten Manager Program Prasarana Divre II Sumbar,Yudi Wahyudi menjelaskan bahwa terdapat 735 perlintasan sebidang di Sumbar. “Dari 735 perlintasan sebidang di Sumbar, terdapat 589 terdapat perlintasan liar. Perlintasan liar tercipta karena cukup lamanya perkeretaapian tidak beroperasi di Sumbar,” ucapnya.
Lebih lanjut, tentang siapa yang bertanggung jawab tentang perlintasan sebidang, PT. KAI Divre II Sumbar berlindung dengan UU Nomor 23 tahun 2007 yang menyatakan, pengawasan, dan penutupan perlintasan sebidang, kewenangannya ada di tangan pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Perhubungan. ”Kami juga mengakomodir permintaan dari masyarakat untuk menutup perlintasan sebidang yang ada. Alhasil di tahun 2019 kami menutup 53 perlintasan liar,” ucapnya.
Selanjutnya, Yudi berharap perlu adanya koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah derah dan pemerintah kota untuk melakukan penutupan dan pengawasan terhadap perlintasan liar yang ada di Sumbar. “Mungkin Ibu bisa memfasilitasi pemda, pemko untuk berkoordinasi dengan PT. KAI dalam penutupan perlintasan liar sesuai dengan UU 23 tahun 2007. Kami berharap, pemko dan pemda membuat jalan kolektor sehingga dapat menutup perlintasan liar. Kami siap berkoordinasi dengan dinas terkait dalam pembuatan jalan kolektor tersebut,” tambahnya.
Yudi berharap adanya sinkronisasi UU Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan dengan UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Seringnya masyarakat mendemper kereta api, PT. KAI selalu berlindung dibalik UU Nomor 23 Tahun 2007.
PT. KAI tidak mau disalahkan, karena dalam Pasal 178 UU Nomor 23 Tahun 2007 sudah secara tegas menyatakan, “Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.”
Tidak ada yang bertanggung jawab terhadap korban akibat terdemper dengan keretaapi menyebabkan masyarakat harus hati-hati dalam melintasi perlintasan sebidang. (fan)














