RADEN SALEH, METRO – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau dan Jambi, berbuntut pada kondisi udara di Sumbar. Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar, kabut asap yang kian meluas menyebabkan kualitas udara di provinsi itu terus menurun jika dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya.
Kepala DLH Sumbar Siti Aisyah memastikan, kondisi udara cenderung jelek. Data udara yang menurun itu diperoleh menggunakan alat AQMS (Air Quality Monitoring System) atau alat ukur kualitas udara pada Particulate Meter (PM) di Sumbar. Alat tersebut bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK).
“Kondisi terkini di Sumbar, khusus daerah-daerah Sumbar yang berdekatan dengan Provinsi Riau dan Jambi tentu akan lebih jelek kualitas udaranya, begitu juga di Padang kualitas udaranya menurun, dibandingkan hari-hari sebelumnya tapi rata-rata masih di bawah ambang batas,” kata Siti Aisyah saat dihubungi POSMETRO, Kamis (12/9).
Siti Aisyah menjelaskan, pada Kamis pagi kualitas udara Kota Padang sempat Hydro Carbon (HC)-nya tinggi yang melebihi satu parameter atau di atas standar ambang batas yang sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 terkait baku mutu udara ambien nasional. Dia berharap kondisi HC membaik agar tidak berdampak kepada kualitas udara di Sumbar.
“Mudah-mudah (Hydro Carbon, red) membaik. Ambang batas untuk hydro carbon adalah 160 ug/m3,” sebutnya.
Namun, kata Siti Aisyah, untuk parameter lain masih di bawah ambang batas seperti (150 ug/m3) akan tetapi kecenderungan kualitasnya menurun dibandingkan kondisi sebelumnya seperti parameter debu (PM-10) pada pengukuran 11 September 2019 kemarin, kondisinya rata-rata adalah 34 ug/m3 dan maksimal 121 ug/m3.
“Kalau PM.10 hari ini (kemarin, red) masih di angka 40. Tapi masih dibawah ambang batas lah, karena PM.10 itu kan ambang batasnya 150,” jelas Siti Aisyah.
Lebih lanjut, menurut dia, kondisi itu lebih jelek dibandingkan pada 10 September dan 9 September lalu maupun sebelumnya yang rata-ratanya berkisar 25 ug/m3 dan nilai maksimal tidak mencapai melebihi nilai 100 ug/m3. Namun, pada 12 September parameternya mencapai angka 80-60 ug/m3.
Sebagai antisipasi, kata Siti Aisyah lagi, pihaknya terus melakukan pemantauan kualitas udara dengan cara manual karena alat pengukur udara di Sumbar terbatas. Selain itu, pihaknya juga meminta setiap Kabupaten/Kota untuk menurunkan tim melakukan pengujian karena ada perlatan portable.
“Kita minta Dhamasraya dan Limapuluh Kota melakukan pengukuran manual menggunakan peralatan portable yang mereka miliki atau menggunakan jasa laboratorium, kalau kita kan harus dipasang terus (alat pengukur udara, red),” tambah Siti Aisyah.
Terakhir, Siti Aisyah mengimbau kepada masyarakat agar aktivitas di luar ruangan. Jika ada yang rutin melakukan kegiatan olahraga sebaiknya dikurangi dan jika memang harus keluar rumah harus menggunakan masker agar tidak berdampak kepada kesehatan. Namun melihat kondisi saat ini masih belum diperlukan.
“Jika ingin jalan-jalan ditahan dulu, jalan keluar rumah. Tapi kondisi sekarang masih baik, saya terus pantau perkembangan udaranya, satu atau dua hari nanti pasti saya informasikan lagi,” tukasnya.
Terpisah, Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (GAW) Kototabang, Sumbar, Wan Dayantolis, mengatakan, hingga Kamis (12/9), dengan pola angin tersebut kualitas udara di Sumatera Barat akan semakin menurun. Sementara itu, titik panas yang terpantau pada 11 September 2019 ada 177 titik panas di Provinsi Riau, 306 titik panas di Provinsi Jambi.
“Kemudian ada 299 titik panas di Provinsi Sumatera Selatan, dan ada 12 titik panas di Provinsi Sumbar. Kalau berdasarkan prakiraan hujan dasarian I dan II September 2019, curah hujan rendah diperkirakan terjadi di wilayah tengah hingga selatan Sumatera,” kata Wan Dayantolis.
Jarak Pandang hanya 6 KM
Sedangkan jarak pandang di Stasiun Meteorologi Bandara Internasional Minangkabau, saat ini terpantau hanya enam kilometer. Sedangkan jarak pandang di Stasiun pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang terpantau sejauh dua kilometer.
“Berdasarkan pantauan jarak pandang di Bandara Internasional Minangkabau dan Bukit Kototabang, kondisi jarak pandang pada 12 September 2019 mengalami penurunan,” jelas Wan Dayantolis.
Kondisi tersebut akan berdampak pada penurunan kualitas udara, yang terukur di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Apabila hotspot di sekitar Sumbar dan beberapa provinsi terdekat terus meningkat. Sementara curah hujan masih terus berkurang, perlu diwaspadai dampaknya terhadap kondisi kualitas udara di wilayah Sumbar. (mil)