Setiap akan memasuki bulan puasa, hampir selalu diawali dengan perbedaan pandangan dan pendapat dalam penentuan awal puasa dan juga lebaran. Alhamdulillah, tahun ini tidak. Karena pemerintah, Muhammadiyah dan NU sudah sama-sama menetapkan 1 Ramadhan tahun ini.
Dulu sebelum era informasi, perbedaan itu hanya ditemukan dalam buku-buku fikih atau dalam diskusi terbatas para mujtahid. Namun seiring dengan kemajuan teknologi dan bahkan pascareformsi bagi Indonesia, maka pebedaan pendapat atau perdebatan ilmiah yang seharunya berada dalam ruang dan komunitas terbatas telah menembus ruang publik.
Kehebatan dalam berargumen mempertahankan pendapat yang kemungkinan besar marjuh (kurang kuat), egoisme berbeda dengan pemerintah dipertontonkan (terlihat) oleh masyarakat. Dengan alasan bahwa pemerintah tidak boleh mengintervensi keyakinan seseorang dalam beribadah, tetapi yang terjadi adalah simpati telah berubah menjadi antipati.
Menelisik kepada bentuk-bentuk ibadah yang dikerjakan oleh setiap muslim, maka dalam kajian fikih diketahui bahwa hampir semua ibadah memiliki etika atau adab yang menyesuaikan dengan ruang dan waktu, bahkan adat kebiasaan suatu tempat atau kondisi daerah. Ketika seseorang akan shalat misalnya, maka harus dipastikan syarat dan rukunnya terpenuhi. Dan idealnya seseorang berlama-lama dalam shalat, karena sejatinya dia sedang berdialog dengan Rabbnya.
Tetapi ketika dia shalat berjamaah dan bahkan menjadi Imam, maka dia harus tahu kondisi makmumnya, tidak boleh dipanjangkan bacaan dalam shalat, karena dikhawatirkan ada diantara jamaahnya yang sakit(tidak bisa berdiri lama), atau punya agenda lain, sehingga harus cepat selesai shalat. Atau ada yang punya anak kecil(sedang menangis), sehingga mengganggu kekhusyu’an dalam shalat.
Sebagaimana pernah terjadi pada masa rasul s.a.w. ketika beliau menjadi imam dalam shalat, beliau mendengar suara anak kecil menangis, maka beliau memendekkan bacaan shalat.
Pernah suatu ketika tiga orang shabat datang menemui istri Nabi S.A,W dan menanyakan bagaimana ibadahnya nabi Muhmamad SAW. Setelah mendapat penjelasan, salah seorang dari mereka berkata, betapa sediktinya dan rendahnhya ibadah kita bila dibandingkan dengan Rasul s.a.w yang sudah mendapat jamanian ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosanya yang telah berlalu ataupun masa yang akan datang jika ada.
Saya bertekad akan selalu shalat malam tanpa istirahat, orang kedua berkata saya akan puasa sepanjang hari, orang ketiga berkata, saya akan membujang dan tidak akan menikah.
Rencana mereka diatas didengar oleh Rasul s.a.w, lalu beliau bersabda: Kenapa kalian yang punya rencana ini dan itu, Demi Allah saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakawa dibandingkan kalian. Saya shalat malam tetapi juga tidur, saya berpuasa tetapi juga berbuka dan saya juga menikah, Siapa yang membenci sunnahku, maka sesungguhnya dia bukan bagian dari umatku.(H.r Bukhar dan Muslim).
Dalam riwayat lain didapatkan informasi, bahawa seorang tabiin menetap di masjid untuk beribadah, sementara untuk biaya hidupnya ditanggung oleh saudaranya, ketika Umar bin Khattab mendengar hal itu, ia berkata saudaramu yang berkerja jauh lebih baik dari kamu.Beberapa riwayat diatas mengindikasikan bahwa sejatinya ibadah adalah pengabdian dengan ketundukan dan kepatuhan kepada aturan, menyesuaikan dengan kondisi. Bukan sekedar ingin menikmati ibadah secara pribadi atau menunjukkan egoisme golongan.
Dalam ibadah haji sebenarnya lebih terasa bahwa ibadah bukan untuk menujukkan ego pribadi dan golongan, waktu pelaksanaanya “terpaksa tunduk dan patuh” kepada perhitungan pkar/ulama Saudi, jika tidak mau dipermalukan dengan melakukan wukuf di arafah sehari sebelum atau sesudah umat Islam secara keseluruhan melakukan wukuf. Untuk mencium hajar aswad tidak diwajibkan, bahkan dibolehkan dengan isyarat saja dari kejauhan, jika dikhawatirkan menginjak-injak orang lain, atau menimbulkan dosa.
Dalam melaksanakan ibadah puasa, seperti menentukan awal ramadhan jika secara keilmuan terbaru dan tercanggih hari ini, bulan belum bisa terlihat, maka sudah sejatinya ijtihad yang dipakai adalah dengan menyempurnakan hitungan sya’ban. Begitu juga dengan mengisi malam ramadhan dengan taraweh adalah bagian dari usaha menghidupkan ramadhan.
Tetapi dalam proses pelaksanaan taraweh ini adakalanya terjadi “kekisruhan”atau minimal perdebatan panjang yang tidak pernah selesai-selesai, apakah shalat tarawehnya empat-empat rakaat baru salam atau dua-dua rakaat salam. Seharusnya ini tidak lagi muncul, kecuali di kelompok –kelompok diskusi ilmiah. Jika kita sebagai umat lebih yakin dengan pola shalat dua-dua rakaat, tinggal dicari masjid yang melaksanakannya demikian.
Atau jika kita ingin menikmati shalat dengan bacaan imam yang cukup panjang, tinggal dicari masjid yang menyelenggarakannya, atau kita laksanakan bersama keluarga atau komunitas kita. Jangan yang dikedepankan ego pribadi, memaksakan keinginan kelompok kepada komunitas yang lebih besar dalam pemahaman beribadah. Karena inti ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan, bukan pemaksaan dan ego pribadi.
Bahkan bagian dari adab, jika kita sedang membaca al qur an secara jahar, lalu ada orang yang melaksanakan sholat, maka etikanya kita lunakkan suara agar tidak tergannggu kekhusyakan sholat orang tersebut. Begitulah adab dalam ibadah, tidak ada dan tidak boleh egois sama sekali. Semoga kita terhindar dari sifat egois dalam akhlak dan juga ibadah. Aamin. (*)