IMAM BONJOL, METRO – Tinggal hitungan hari, Ramadhan 1440 Hijriyah akan tiba. Umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menjalani ibadah puasa selama satu bulan penuh. Di Sumbar, ada tradisi yang dilakukan masyarakat dalam menyambut bulan puasa. Misalkan, balimau.
Merespon tradisi itu, Ketua Majelis Ulama Indonedia (MUI) Kota Padang, Duski Samad berpendapat, balimau atau mandi dengan memakai berbagai kembang dan limau, serta pewangi yang disiramkan ke rambut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan puasa. Menurut dia, tradisi balimau ini tidak ada dalam hadis apa pun.
“Sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan ibadah, namun tradisi ini murni budaya. Dimana dahulunya memiliki tujuan mulia yaitu, lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta,” kata Duski Samad saat dihubungi, kemarin
Menurut Duski lagi, balimau merupakan produk budaya dalam bentuk kreativitas manusia menyucikan diri. Tidak aturan dalam agama tentang balimau tersebut seperti halnya penyambutan Ramadhan. Tidak lebih dari penafsiran-penafsiran dari nilai-nilai agama.
“Jadi perlu diluruskan, tujuan balimau ini sebagai mensucikan diri, bukan hura-hura,” ucap Guru Besar Ilmu Tasawuf Fakultas Tarbiyab, Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol (IB) Padang.
Saat ini Duski melihat, tujuan budaya balimau yang baik tersebut telah bergeser, dan tidak lagi seperti yang diharapkan. Namun, sekarang tidak terlihat lagi tujuan dari budaya tersebut, budaya balimau setiap tahun dilakukan sebagian masyarakat dengan mandi ke sungai.
“Saya mengimbau masyarakat harus cerdas, dan memahami makna dari budaya ini menjelang puasa, dimana harusnya masyarakat perbanyak ibadah, bukan melakukan hal yang mubazir,” imbau Duski.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Sayuti Datuak Rajo Panghulu mengatakan, dalam adat Minangkabau tidak ada aturan atau kewajiban adat menjalankan balimau ke sungai atau tempat terbuka.
“Sebaiknya, di rumah saja, karena bisa memulainya dengan niat dan pelaksanaan yang khusuk,” ujar Sayuti.
Sayuti menilai, balimau bukan saja semacam tradisi dari perspektif adat, tapi juga ada unsur agama.
“Sebab, balimau mesti diawali dengan niat yakni, Sengaja aku mandi balimau untuk menyucikan diri memasuki bulan suci Ramadhan karena Allah Lillahita’alla,” sebutnya.
“Ada tujuh ragam limau di Minangkabau yakni, limau sandi, limau puruik, limau kambiang, lima kapeh, limau kunci, limau padang, dan limau nipis. Masing-masing limau punya makna tersendiri,” jelas Sayuti.
Limau puruik sebutnya, dengan permukaan kulit bergelombang (karuik-karuik/kerut-kerut), dianggap sebagai media untuk menyelesaikan sengkarut persoalan. Limau kambiang dianggap simbol sifat kebinatangan. Artinya jika limau tersebut digunakan, maka segala sifat kebinatangan yang ada bisa hilang.
“Kemudian, limau kunci dianggap sebagai pembuka kunci untuk surga, dan kunci untuk menutup pintu neraka,” tukasnya. (mil)