Oleh: Firdaus Abie
HUJAN belum reda sempurna. Hulu sungai di Batu Busuak, Kecamatan Pauah, Kota Padang, mengalirkan air berwarna coklat pekat sepanjang Batang Kuranji menuju muara di Air Tawar. Tenang tapi tetap mengancam.
Puluhan rumah dilendonyo (disenggol) hingga hanyut dan terkubur, dua jembatan dihondohnyo (dihantam) hingga roboh. Jalurnya dari Batu Busuak menuju Koto Tuo, Pasia di dekatJembatan Gunuang Nago, Lambuang Bukik, Kampuang Pinang, Simpang Kuranji, Simpang Koto Tingga, sampai ke Air Tawar.
Tak ada lagi jerit tangis ketakutan, tapi isak duka dan kesedihan, tak bisa disurukkan. Ada orang-orang tercinta dijemput secara paksa. Ada harta benda dipulun (digulung) dalam kubungan longsor, kemudian menyatu dengan lumpur, lalu mengeras.
Di antara ribuan korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ada banyak perjuangan untuk bangkit menatap masa depan. Salah satunya sebuah keluarga besar di Batu Busuak, Kecamatan Pauah, Kota Padang, Sumatera Barat.
Banjir dan longsor, di Batu Basuak, 26-28 November 2025, berdampak langsung dan tak langsung bagi ribuan jiwa. Termasuk sebuah keluarga besar, keluarga saparuik (satu keturunan) dari Kapalo Koto.
Jauh sebelum musibah melanda, mereka menetap terpencar di wilayah Batu Busuak, tetapi alam memaksa mereka kembali ketapak “rumah gadangnya” dekat jambatan Talang, persisnya di RT 03 RW IV, Kelurahan Kapalo Koto. Mereka terdiri dari 11 Kepala Keluarga (KK), 48 jiwa.
Delapan rumah mereka tak bisa ditempati lagi karena empat rusak berat, empat diantaranya hanyut. Kalau pun ada rumah yang masih bisa ditempati setelah perbaikan, tetapi tak lagi boleh ditempati lantaran sudah masuk dalam zona merah. Tak boleh lagi didiami karena berada di potensi ancaman bencana berikutnya.
Semuanya dikumpulkan oleh orang tuanya, di rumah salah seorang keluarga yang tidak terkena. Mereka berhimpun di bangunan berukuran 4×6 meter. Tumpah ruah semua di sana. Rumah tersebut merupakan rumah tua kaum suku Tanjuang Talang. Berada persis di tengah ladang. Mereka menyebutkan, pondok. Selama ini ditempati Awaih.
Keluarga besar tersebut berhimpunnya di sana pascalongsor dan galodo di Batu Busuak. Dimalam ketiga pascalongsor dan galodo, mereka mendiskusikan perihal langkah antisipasi. Tak mungkin berlama-lama di pondok kecil tersebut. Harus ada tindakan nyata.
Mereka tak mungkin bertahan dalam ketidak pastian langkah nyata pemerintah. Mereka menyadari, cakupan areal bencana yang luas, tentu banyak prioritas yang lebih penting bagi pemerintah.
Saat diskusi keluarga tersebut, tiba-tiba pandangan mereka tertuju kelapangan terbuka, berjarak sekitar 100 meter dari tempat mereka bersama. Lahan tersebut, dulunya merupakan tempat rumah tua mereka berdiri. Kata sepakat, membangun Huntara (Hunian Sementara) keluarga sekuat kemampuan yang ada.
“Di sini rumah gadang kami, dulu,” kata Dasrul, salah seorang dari mereka, ketika memulai cerita perihal lokasi yang ditempati kepada penulis, Senin (8/12).
Ia mengisahkan, mereka lahir dan tumbuh di rumah yang dulu berdiri kokoh di lahan tersebut. Bagi Dasrul bersaudara, lokas itersebut adalah rumah bako (saudaradari ayah)-nya. Ayahnya, Usar, saat ini berusia 78 tahun. Beliau merupakan ninik mamak Kapalo Warih. Beliau membangun rumah tersebut bersama keponakannya.
Selain bersama anak, menantu dan cucu serta cicit, Usar masih memiliki adik perempuan, bernama Upik (73 thn). Usianya 75 tahun. Mereka hidup rukun dan damai. Dasrul dan saudaranya juga disebut anak pusako di tempat bakonya, hal tersebut disebabkan ayahnya adalah mamak pusako di sana.
“Saya besar di lingkungan bako, sehingga lebih dekat dengan bako,” kata Dasrul.
Garis perjalanan hidup Dasrul bersama saudaranya, tergolong menarik, unik dan sangat jarang terjadi di Minangkabau. Umumnya anak-anak Minang, hidup dan dibesarkan dilingkungan keluarga ibu. Kondisi yang tak biasanya dan tergolong langka ini adalah pengecualian, sekaligus memperlihatkan kuatnya rasa dari keluarga kedua orang tua Dasrul.
















