JEMBATAN Kembar, di gerbang masuk Kota Padangpanjang dari arah Padang, menjadi cerita panjang yang tak terlerai. Ada kenangan terpaut di sana, ada duka yang tak akan terhapus. Duka yang memperpanjang deretan luka. Setidaknya ada tiga luka yang sangat perih, dalam 99 tahun terakhir.
Laporan: Firdaus Abie
Galodo di Jembatan Kembar, terjadi Kamis 27 November 2025. Data di Posko Utama Tanggap Darurat, Rabu pukul 17.30 WIB, ada 36 jenazah yang ditemukan dan berhasil diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, 21 orang warga Padang Panjang, sedangkan 15 lainnya berasal dari luar daerah, seperti Bukittinggi, Solok, Tanah Datar, Payakumbuh, Pesisir Selatan hingga Pekanbaru.
Sehari sebelum galodo terjadi, saya ditugaskan oleh Ketua PWI Sumatera Barat Widya Navies menjadi pemateri Bimtek Wartawan di Bukittinggi. Saya berancana berangkat Kamis 27 November 2025 pagi, lantaran jadwal memberikan materi, pukul 10.00 WIB.
Selepas Subuh, saat persiapan berangkat, ada pesan whatsapp dari adik saya. Ia mengabarkan, dirinya sedang di Padangpanjang. Ia hendak ke Padang. Berangkat dari Pekanbaru, Rabu malam. Saat itu dirinya bersama semua penumpang travel, sarapan dulu di Padangpanjang karena tak bisa melanjutkan perjalanan. Terjadi longsor di Bukit Berbunga, Padangpanjang. Perkiraan longsor, katanya yang diperoleh dari warga, terjadi sebelum pukul 04.00 pagi. Katanya lagi, belum ada alat berat yang bekerja.
Satu jam berselang, saya dihubungi lagi. Belum ada tanda-tanda akan dikerjakan pembersihan badan jalan dari longsoran. Saya kemudian menghitung waktu. Tak mungkin ke Bukittinggi melintasi Padangpanjang. Kalau melewati Kelok 44, juga tak mungkin, ada beberapa ruas jalan yang longsor. Termasuk banjir di Sungai Limau. Satu-satunya jalan, melintasi Sitinjau Lawik.
Saya memperhitungkan waktu. Melewati Solok, kemudian ke Tanahdatar, ke Bukittinggi, butuh waktu lebih panjang. Apalagi kalau terjadi kemacetan. Tidak akan sampai sebelum pukul 10.00 WIB. Saya kemudian mengabarkan kepada panitia perihal kondisi yang terjadi. Mereka memahami.
Hujan belum juga reda. Perlahan air dari anak sungai di belakang komplek tempat saya tinggal, mulai meluap. Naik ke jalan, kemudian terus meninggi. Saya mengeluarkan mobil ke gerbang komplek, lalu mulai membuat “benteng” di dua pintu rumah untuk menahan laju air yang terus bergerak sejak menjelang pukul delapan pagi.
Bersamaan saya membangun “benteng” tersebut, panitia menghubungi saya lagi. Mereka meminta izin agar materi yang sudah saya kirim, langsung dibagikan saja kepada peserta. Saya mengizinkan.
Beberapa menit berselang, selular saya berbunyi. Rupanya panitia lagi.
“Bang, jadwal abang tetap ya, tetapi melalui zoom saja, nanti saya kirimkan linknya. Semua panitia dan peserta mengikuti dari layar lebar,” katanya.
Saya setuju.
Materi saya berakhir bersamaan dengan azan Zuhur. Kadis Kominfo Tanah Datar Dedi Tri Widono menyampaikan terima kasih. Katanya, walau tidak bertatap muka, namun materi yang diberikan tetap “berdaging” semua.
Selesai Zuhur, saya buka selular. Darah saya berdesir kencang. Dada saya bergemuruh. Tanpa terasa, ada tetesan panas di sudut ke dua mata walau sesungguhnya cuaca terasa dingin karena hujan tiada henti.
“Ya, Allah, selamatkan ayah dan keluarga beliau,” doa saya dalam hati.
Saya kemudian mengabarkan kepada Isteri. Kawasan Jembatan Kembar Padangpanjang, dihantam galodo. Limpahan material sampai ke jalan. Saya memperlihatkan foto-foto yang ada di media sosial, disejumlah grup whatsapp yang saya miliki.
“Bagaimana kabar ayah dan keluarga beliau?” tanya isteri saya, pertanyaannya senada dengan doa yang baru saja saya bisikkan kepada Allah, mikrodetik sebelumnya.
Saya menjawab singkat, “belum ada kabar, peristiwanya baru saja terjadi,”
“Semoga ayah dan keluarganya selamat dan baik-baik saja,” katanya.
Mengikuti Perkembangan Galodo Jembatan Kembar
Sejak saat itu, saya terus ikuti perkembangan dari media sosial mau pun media massa. Foto-foto dan vidionya jelas sekali, Jembatan Kembar yang didekatnya ada tulisan Padangpanjang dalam huruf kapital. Beberapa meter dari Jembatan Kembar ada musala. Air yang mengalir untuk kebutuhannya mengalir sepanjang detik. Sangat bersih, jernih dan sejuk. Di sebelah musala ada kedai kopi. Tidak terlalu besar, namun dapat melepas penat selama perjalanan.
Sejak 2010, jika saya mengemudikan kendaraan, biasanya sengaja berhenti di sana agak sejenak. Kadang ke toilet, atau salat, ada kalanya mengopi agak sakarek, atau sekadar menikmati mie instan panas. Suasananya sangat mendukung. Suhu di sana terasa sejuk dan semakin tenang ketika menatap aliran sungai yang ada di kiri bawah kedai. Semula saya menduga air sungai di sisi kiri bawah kedai yang meluap, tetapi ada anak sungai dari bukit di sebelah kanan jalan.
Empat hari pascagalodo, saya tersentak ketika melihat sebuah postingan di beranda facebook. Akunnya bernama Nanik Muis. Saya sepintas mengenalnya sebagai penulis dan pegiat literasi, tetapi hanya kenal di media sosial. Belum pernah bertemu langsung.
Postingannya menampilkan wajah Jembatan Kembar, di foto dari arah Padangpanjang. Disamping kanannya terlihat gambar bangunan berlantai dua, ada kubah di atasnya. Diperkirakan foto diambil dengan latar belakang gelap, lampu di Jembatan Kembar dan musala sudah menyala.
Tulisan Nanik Lubis cukup panjang. Beliau mengilustrasikan asal usul pembangunan musala tersebut. Berawal ditahun 1980, sekembalinya Apak Menan Idris, suami dari Etek Juieh, pulang melaksanakan ibadah haji, Alm kemudian berniat mendirikan musala.
Beliau mengumpulkan batu dari batang aia (sungai), kemudian diangkat ke pinggir jalan untuk membangun musala. Ketika itu beliau masih bekerja di Padang, kemudian berhenti dan fokus menetap di sana sekaligus terus membangun musala sampai selesai. Beliau membangun, jadi muazin, sering juga jadi imam. Tanpa pengeras suara.
Beliau kemudian membangun kedai kopi di sebelahnya. Kamar mandi musala diperbesar. Berlahan dan pasti, musala dan kedai menjadi alternatif bagi mereka yang lewat untuk istirahat sejenak.
Saya langsung sisipkan komen dipostingan. Kata saya; Uni Nanik Muis, apakah Apak Menan Idris sehari-hari dipanggil Ayah?
Tak berselang lama, Uni Nanik Muis merespon. Jawabannya; Firdaus Abie, betullll.
Saya tertegun sambil berucap. Innalillahi Wainna Illaihirojiun. Tak terasa, air mata saya jatuh berderai.
Saya kabarkan kepada isteri. Dia terkejut dan bertutur dalam nada berat.














