Oleh: Irwan Suwandi .SN, S.IP, MM (Alumnus Magister Managemen ITB HAS Bukittinggi)
“Tak Boleh Ada Republik dalam Republik”. Demikian pernyataan keras Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Sjamsoeddin saat jumpa pers latihan gabungan TNI di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali Mandar, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu.
Pernyataan itu muncul sebagai respon atas tidak adanya kehadiran aparat negara dalam operasional di bandara tersebut. Padahal bandara itu sudah melayani 500-an lebih penerbangan dalam dan luar negeri sejak pertama kali beroperasi tahun 2019 lalu. Jangankan aparat keamanan, Petugas Imigrasi dan Bea Cukai saja tak ada. Akibatnya lalu lintas barang dan orang dibandara itu tentu tak terpantau. Sungguh ajaib.
Sinyal bahaya langsung ditangkap Menhan Sjafrie. Beliau menyebutnya dengan istilah Anomali. Situasi yang amat berbahaya bagi kedaulatan bangsa, khususnya dibidang ekonomi. Jumlah kekayaan alam yang dikeruk dan dibawa terbang keluar negeri menjadi tanda tanya besar. Kebocoran sudah pasti terjadi dan Menhan Sjafrie langsung melaporkan temuannya itu kepada Presiden Prabowo Subianto.
Tak lama, Presiden Prabowo langsung menyampaikan statemen tegasnya. Dalam sebuah rapat bersama jajaran TNI di Mabes TNI serta diikuti oleh Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia secara daring, Selasa (24/11), Presiden Prabowo mengecam temuan itu. Dirinya menyesalkan, masih ada pihak-pihak yang rela berkhianat kepada bangsanya. Rela berkhianat kepada rakyat dengan membiarkan hasil bumi dikuras habis-habisan tanpa kontrol. Prabowo heran, kenapa hal itu bisa terjadi? kenapa dibiarkan saja? Prabowo mempertanyakan dinama letak nasionalisme aparat negara yang membiarkan praktek itu terjadi? dimana jiwa patriotik mereka? kok bisa membiarkan kekayaan alam dicuri didepan mata?
Keheranan Presiden Prabowo itu barangkali juga merupakan keheranan sebagian besar rakyat kita yang masih berfikir secara waras. Saya dan mungkin juga anda. Dari dulu kita kerap bergumam, bagaimana mungkin bangsa besar nan kaya sumber daya alam ini masih terseok-seok perekonomiannya. Kemiskinan masih tinggi. Infrastruktur di kota dan di desa masih ketinggalan, gaji guru dan aparat Negara jauh lebih rendah dari Negara tetangga, upah buruh juga demikian, dan seabrek anomali lain dari sebuah bangsa nan Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Kenapa semua itu bisa terjadi?
Jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya? Maka jawabnya simple saja, yaitu negara salah urus. Siapa yang salah, tentu jawaban simpel berikutnya adalah orang atau institusi yang diberi kewenangan mengurus. Maka, dalam konteks berbangsa dan bernegara, tentu telunjuk mengarah kepada pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah. Mulai dari Presiden hingga Kepala Desa/Nagari.
