Oleh: Fathurrachman (NPM: 2510011311034)
Dosen Pengampu: Heri Effendi, S.Pd.I.,M.PD Mahasiswa Akuntansi FEB Universitas Bung Hatta Padang
PERNYATAAN Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini kembali meredam spekulasi public mengenai wacana redenominasi rupiah. Dalam video yang diunggah di YouTube, Purbaya menegaskan bahwa kebijakan penyederhanaan nilai mata uang tidak akan diberlakukan dalam waktu dekat, termasuk tahun depan. Ia juga menegaskan bahwa redenominasi bukan kewenangan langsung Kementerian Keuangan, melainkan ranah Bank Indonesia (BI).
Penjelasan ini penting untuk diluruskan karena public kerap menyamakan rencana strategis pemerintah dengan pelaksanaan kebijakan. Memang benar, rencana redenominasi tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029. Namun masuknya isu ini ke dalam dokumen Renstra bukan berarti kebijakan siap dieksekusi. Renstra adalah arah kebijakan jangka panjang, bukan keputusan final.
Purbaya menyebut bahwa banyak masyarakat salah paham terkait posisi pemerintah dalam kebijakan redenominasi. Di sinilah nilai Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi relevan. Negara berkewajiban memperlakukan rakyat dengan jujur melalui komunikasi publik yang jelas, tidak menyesatkan, dan tidak menimbulkan keresahan.
Ketika rencana seperti penyederhanaan rupiah (Rp 1.000 ! Rp1) dimasukkan dalam dokumen resmi, public wajar bertanya dan merasa cemas. Ketika pemerintah tidak segera memberikan penjelasan yang utuh, maka celah misinformasi terbuka lebar. Di era informasi cepat, keterbukaan dan empati public adalah wujud konkret dari sila kemanusiaan. Karenanya, klarifikasi Purbaya seharusnya menjadi momen untuk memperbaiki pola komunikasi pemerintah kepada warga negara.
Secara ekonomi, redenominasi bukan sekadar menghapus tiga nol pada mata uang. Ini adalah kebijakan besar yang menyentuh aspek teknis, psikologis, dan sosial. Pemerintah dan BI menargetkan Rancangan Undang-Undang Redenominasi rampung pada 2027. Pendekatan yang perlahan, terukur, dan penuh kajian ini sejalan dengan Sila Ketiga: Persatuan Indonesia, yang menekankan pentingnya stabilitas dan keutuhan sosial.
Jika kebijakan ekonomi terburu-buru, kerentanan ekonomi dapat melemahkan persatuan nasional. Stabilitas harga, kelancaran system perbankan, dan kesiapan UMKM adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan demi menjaga kehidupan ekonomi masyarakat tetap solid dan harmonis.