Oleh: Firdaus F Pemerhati Kebijakan Publik
Diskusi mengenai rendahnya pertumbuhan ekonomi (PE) Sumatera Barat perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, objektif dan komprehensif. Pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah rata-rata nasional tentu menjadi bahan evaluasi bagi pemangku kebijakan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini wajar, karena kinerja ekonomi provinsi merupakan agregasi dari seluruh daerah yang ada di dalamnya.
Namun demikian, menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menyimpulkan bahwa Sumbar tertinggal atau menjadi provinsi termiskin bukanlah pendekatan yang tepat. Pertumbuhan ekonomi hanya menggambarkan peningkatan nilai tambah, bukan kesejahteraan secara menyeluruh.
Salah satu indikator yang lebih komprehensif dalam menilai kesejahteraan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM mengukur kualitas pembangunan melalui indikator kesehatan (umur harapan hidup), pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), serta standar hidup (pengeluaran riil per kapita). United Nations Development Programme (UNDP) juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan alat pembangunan, sementara tujuan utama pembangunan adalah peningkatan kualitas manusia.
Saat ini (Triwulan III 2025), IPM Sumatera Barat berada pada posisi keenam tertinggi di Indonesia dengan nilai 77,27. Angka ini berada di atas rata-rata nasional (75,90) dan berada di bawah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Bali.
Dari sisi kemiskinan, Sumatera Barat juga berada pada kategori rendah secara nasional, dengan angka 5,35% atau berada di urutan ke-8 terendah. Sementara koefisien Gini Sumbar sebesar 0,282 termasuk yang terendah di Indonesia, menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan yang relatif kecil.












